Perang Urat Syaraf PKS VS Istana

27 February 2019

Jakarta – Perang urat syaraf antara kubu Istana dan Partai Keadilan Sejahtera belumlah reda. Andi Arief, staf khusus Presiden SBY, mau melaporkan politisi PKS Misbakhun ke Mabes Polri. Sebaliknya Misbakhun menuding Andi sebagai penjilat. Apa yang sedang terjadi?

Pangkal masalah adalah kasus Bank Century. Tapi kini giliran kubu istana yang memojokkan PKS. Pasalnya, Staf Khusus Presiden, Andi Arief mau melapor ke Mabes Polri kasus Letter of Credit (LC) fiktif yang diduga dilakukan Misbakhun, politisi PKS yang juga salah seorang inisiator Hak Angket Bank Century. Jika Andi benar-benar melaporkan kasus Misbakhun itu, jelas menjadi aib bagi PKS yang berslogan bersih dan perduli.

“Perang baru itu nampaknya sedang dimulai, kecuali istana yang meminta Andi mengerem langkah tadi. PKS jelas tak akan tinggal diam jika ini terjadi,” kata Abas Jauhari, pengamat politik dan pengajar Sosiologi Universitas Islam Negeri Jakarta.

Sikap Andi Arief pun dinilai Misbakhun sebagai tindakan penjilat. Tak tanggung-tanggung, Misbakhun meminta Presiden SBY memecat stafnya di bidang bantuan sosial dan bencana alam tersebut.

“Kita sedang berhadapan dengan orang-orang penjilat di sekitar presiden, ingin punya poin di hadapan presiden supaya dilihat sebagai prestasi,” kata Misbakhun yang yakin apa yang dilakukan Andi bukanlah atas perintah presiden.

Menurut dia, apa yang dilakukan mantan aktivis mahasiswa itu sudah di luar koridor tugasnya sebagai staf khusus bidang bantuan sosial dan bencana alam. Namun atas tindakan tersebut, Misbakhun pun mengaku siap berhadapan dengan hukum.

“Nggak masalah. Saya siap. Saya tidak gentar sedikit pun,” tegas Misbakhun.

Mengenai tuduhan LC fiktif oleh Andi Arief tersebut, Misbakhun membantahnya. “Itu gagal bayar dan sudah direstrukturisasi semua. Tanya aja ke Bank Mutiara,” kata Misbakhun seraya membantah tuduhan soal LC itu membuat konflik kepentingan dirinya terhadap penyelidikan kasus Bank Century.

Sebelumnya, Andi Arief mengaku memiliki bukti dugaan konflik kepentingan anggota pansus dari Fraksi PKS, Misbakhun, dalam kasus Bank Century. “Kami memiliki bukti kepemilikan dia dalam letter of credit yang diterbitkan oleh Bank Century,” ujar Andi Arief.

Tak tanggung-tanggung, nilai LC bermasalah yang ditemukan Andi mencapai US$22,5 juta. Alat bukti itu berupa Akta Komisaris milik Misbakhun dengan kepemilikan sebanyak 99% pada PT Selalang Prima Internusa.

Menurut Andi, PT Selalang memiliki LC yang diterbitkan Bank Century pada 19 November 2007. Ia mengatakan bukti ini telah diklarifikasi pada Kementerian Hukum dan HAM. “Ini Asli,” kata mantan Komisaris PT Pos itu.

Misbakhun menilai negara telah membayar orang-orang yang tidak jelas kedudukannya termasuk Andi Arief. “Kekuasaan gampang jatuh jika dilingkupi orang-orang penjilat macam dia,” katanya.

Yang menarik, kasus Andi dan Misbakhun itu mencuat pada saat Presiden Yudhoyono tengah membangun dan menyusun kembali ”bangunan koalisi” pendukung dirinya dari ”reruntuhan” bekas bangunan sebelumnya. PKS adalah bagian dari koalisi istana, yang tengah menegakkan aqidah.

ketegangan PKS dengan kubu pihak istana serasa menjadi duri dalam daging koalisi. [ikl]

NB: draft yang tercecer, lupa diupload. Tulisan yang dimuat ketika menjadi reporter inilah.com sekitar 2008 atau 2009. Terlihat jelas tulisan yang pas-pasan.

 


Opini

27 February 2019

Apa itu Sofistri

Sofistri adalah ungkapan lama yang muncul di jaman Yunani, Sofistri berarti berpikir cepat tapi salah, atau bisa juga dikatakan kekacauan cara pikir. Dan ini sering dialami oleh penguasa atau intelektual ketika mengomentari keadaan.

Sebagai contoh paling aktual saat ini adalah ucapan Menkominfo di twitter yang berkata : “Terorisme tidak muncul karena situs-situs radikal”. Atau ucapan “Apabila Terorisme muncul dari situs Radikal, maka semua pembaca Blog adalah Teroris”.

Kekacauan cara berpikir ini memuat dua hal :

1. Pembelaan dia pada situs radikal seolah mematahkan dia sendiri punya logika. yaitu : Blog porno. Bagi dia blog porno adalah sumber dari segala perkosaan dan tindakan amoral yang menyimpangkan seks. Tapi situs radikal tidak dilihat sebagai situs yang berbahaya membuat orang berani melawan kemanusiaan, membunuh orang yang tidak tau apa-apa terhadap persoalan keyakinannya.

2. Dia melihat Internet sebagai hanya perkakas tanpa pengaruh, tapi dia sendiri tidak mengakui ini pada situs porno, dimana situs porno dianggap hal yang hidup dan meracuni pikiran orang, sementara situs radikal tidak meracuni pikiran banyak orang untuk melawan kemanusiaan dan membuat ancaman.

Bagi saya sungguh mengerikan Indonesia punya menteri semacam ini…………..

NB: Tulisan pada draft yang tercecer pada sekitar tahun 2009 atau 2010. Betapa aku kala itu wartawan swag kasar dan sok pintar.


Jeda

27 February 2019

Seorang yang sudah terpaut hatinya dengan Alloh STW, tidak akan mudah gusar dengan takdir apapun yang menimpanya. Baik itu ketetapan Alloh yang sesuai dengan keinginannya maupun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Semakin yakin kepada Alloh, akan semakin mantap menjalani hidup ini. Tidak akan terganggu dengan atribusi-atribusi dari orang lain.

Bukankah Alloh tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia? Hinaan, celaan, itu tidak membahayakan. Yang berbahaya itu kalau kita menghina, berteriak, mencela orang. Semuanya proses kehidupan yang…ya..biasa-biasa saja. Tidak perlu aneh. Manusia tak sopan  itu sudah ada sejak zaman Nabi.

Seburuk-buruknya kondisi kita selama sumbernya dari Alloh, bukan dari dosa-dosa kita, maka itulah sebaik-baiknya pemberian. Meski mungkin di mata orang lain tampak menyedihkan. Berapa banyak nikmat karuniaNya. Sepantasnya kita lebih takut tidak punya syukur daripada takut tidak punya nikmat dunia.

Lahawla wala quwwata illa billah. Hati yang menuhankan selain Alloh akan terus diliputi kecewa, sakit hati, jauh dari bahagia. Tapi bila menyandarkan segala urusan hanya kepada Alloh, tidak akan dikecewakan, karena Alloh lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.


Berani-beraninya Dakwah

26 February 2019

Sungguh tidaklah mudah memutuskan naik panggung membicarakan soal agama di hadapan orang-orang sholeh tiga tahun silam. Sementara saya, si bodoh yang banyak cakap nan ceroboh, masih mengira ia nyasar di belantara antah berantah. Kejutan apalagi ini Alloh?

Inilah sekelumit deskripsi tentang apa yang saya rasakan saat terdampar di majelis taklim muslimah Jami’ul Amal. Serius, saya masih merasa tidak pantas ada di sana berbicara dengan pengeras suara, didengar bukan hanya hadirin, tapi juga warga sekampung membicarakan apa yang tak saya ketahui. Malu. Terlalu malu.

Tidak, tidak. Bukan saya seharusnya yang maju. Saya bukan santri, apalagi Bu Yai. Bukan pula orang berilmu tinggi. Tak elok pula mempertontonkan sesuatu yang berpotensi menjerumuskan orang. Ya, saya  menikmati presentasi, wawancara, pernah eksperimen menggambar, buat robot dari penjepit kertas, main band, sedikit tata boga, tapi tidak ahli soal agama.

Dan kenyataannya adalah tidak ada orang lain lagi yang bersedia. Bahkan, katanya, sebentar bicara di mikrofon saja agaknya lidah tiba-tiba kelu. Mengigil, demam panggung. Hanya Ibu saya yang tidak begitu. Dengan gigih beliau belajar sambil menyiarkan ilmu yang didapat di kajian-kajian antar kampung. Berbagai macam majelis didatangi. Guru-guru disambangi. Mamah yang kadang sakit kaki itu amat bersemangat. Menurutnya, ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu pengetahuan itu tidak eksklusif, kita bisa mengajarkan kepada orang lain sekalipun kita belum benar-benar paham. Dengan mengajar, Alloh SWT menuntun kita menjadi lebih paham. Mengajar juga jihad dan sedekah. Yang tak akan putus ganjarannya walaupun kita mati. Alloh memberikan kesempatan kita berbuat kebaikan. Alloh berikan jalan dan cara membasuh dosa-dosa. Sementara orang-orang berlomba menuju kesempatan ampunanNya, belum tentu Alloh perkenankan. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Dan ini kedua kalinya saya malu.

Dari sana jiwa kemanusiaan saya terpanggil. Inilah momentum bentuk penghambaan itu, selain sisi kepedulian. Tak ada relawan yang acungkan ttangan.Tak ada orang. Siapa lagi kalah bukan kita yang menolong agama Alloh? Peperangan ini antara saya dan nafsu. Bagaimana saya menebus rasa bersalah dengan sedikit tausiah, sekalipun usaha itu masih sangat kecil jika dibandingkan dosa-dosa yang tak terhingga. Saya butuh diampuni. Saya butuh didoakan banyak orang. Saya butuh Alloh.

Apalah yang harus dibanggakan dari seorang pendosa seperti saya. Hina. Satu-satunya alasan orang mau mendengarkan karena Alloh masih menutupi aib-aib saya di mata mereka.

Ketika hari itu tiba, menggigil, gemetar, keringat dingin, sudah melebur tiap kali akan menyampaikan materi. Siapalah aku ini? Hanya sekantung daging berdosa dengan kesoktahuanku. Bismillah. Hanya Engkau satu-satunya Penolong, ya Rabb.

Jika di dalam perbuatan saya ini tampak suatu kebaikan, maka semoga Alloh SWT menguatkannya dengan istiqomah dan tawaddu. Lahawla wala quwwata illa billah. Kemanapun manusia pergi, hendaknya ia menjadi pembelajar seumur hidup. Saya sedang berusaha ke sana. Dari ini semua, yang paling utama, mudahan-mudahan tulisan ini bebas dari ingin kelihatan sholeha. Aamiin.


Kaneron

14 February 2019

I’m a bit lucky! I came across a lady at the local market who produces the Kaneron bags (made from bamboo) with a hand. Now, this is my shopping bag.

Tapi di beberapa kondisi saya masih menggunakan wadah plastik. Belum pernah menemukan produk toilet dalam kemasan “ramah lingkungan” di Pelabuhan Ratu. Atau bubur ayam take away dalam mangkuk sterofom yang versi go green (daun pisang?).

I just think they’re one tiny aspect of a much much bigger issue and we as consumers don’t have much control over the biggest users of plastics food producers. That’s where the bigger focus should be if we have any hope of a making a difference.

Whatever and wherever we do, we make a mess. But trying to clean up our mess is surely a good thing, right?

Ini tas belanjaku, mana tas belanjamu?

Kaneron bag

Tas anyam Kaneron

FB_IMG_1550409271761

Kaneron tas anyam khas Jawa Barat


2.3

14 February 2019

Suatu sore di hari Selasa, hujan masih betah membasahi bumi.

Merebahkan bahu di pojok kursi sofa biru tua, kupandangi wadah plastik es krim yang sedari tadi tandas. Di hadapanku, ramai riuh rombongan keluarga dan gerombolan kesayangan mereka yang enerjetik lagi manja. Satu di antaranya yang mengacak-acak kursi pakai kaki, sementara lainnya sibuk menunjuk tiap gambar di dinding restoran menuntut penjelasan dari Ibunya. Khas anak-anak barangkali.

Dua puluh tiga menit berlalu dari pemandangan membosankan itu. Sementara di luar langit masih menumpahkan kegalauan separuh hari. Aku terdorong ke dalam ingatan absurd itu lagi. Sudahlah jangan meracau. Mari kita pulang, kawan. Suamiku pasti telat makan.


SRI

8 December 2018

Sejak bergabung di Facebook sepuluh tahun lalu, hari ini baru benar-benar aku nyaris patah arang dalam sebuah misi pencarian orang.

Entah setan mana yang membisiki kata “sudah, lelah jiwa, aku menyerah”, seraya mengibarkan bendera putih.

Sri. Ke mana minggatnya kamu sang teman sebangku di SD dulu? Seperti SD kita, SD 27 Dalil, kau pun rupanya hilang jejak. Tiarap. Dan parahnya aku tak ingat nama pangjang mu. Jangan tanya rumah di mana, anaknya siapa, jelas ku tak tahu!

Kau tahu, melihat dan membayangkan satu per satu ‘Sri’ di jagat Facebook adalah kutukan. Kutukan atas rasa bersalah ku yang dulu menindas mu, merebut bekal nasi goreng, dan mengata-ngatai mu. Betul, aku kecil sangat kurang ajar. Sementara kau diam, tak melawan.
Moga di antara kita tiada dendam.

22 tahun lalu di Bangka, masih ku ingat rapinya kuncir rambut mu yang kemerahan hasil terik matahari, sang anak wedok yang mandiri, tabah nan baik hati. Sriyanti anak paman petani yang sederhana tapi juga mulia.

Sri apa kabar mu? Seperti apa rupa mu kini? Masih ingatkah? Andai kau masih hidup, andai semesta merestui sekali lagi kita bertemu, daring pun tak mengapa untuk sepotong permintaan maaf yang dulu terlewat.

Sri, aku masih mencari. Dan entah ke mana nasib membawa.

Pelabuhanratu, malam Rabu Oktober 2018.

[Pesan terbuka]

DICARI:

SRI ATAU SRIYANTI YANG ALUMNI SDN 27 DALIL, BANGKA ANGKATAN 97/98. SUKU JAWA, ANAK PETANI SAWIT PT SUMARCO MAKMUN INDAH.

[Dari mantan teman sebangku mu yang berantakan]

#clasamate #sd27dalil #bangka #sriyanti


Sabar dalam Amal

8 December 2018

“Ulah barangbere wae, tong sieun disebut koret!” (Jangan sering ngasih, gak usah takut dibilang pelit)

“Teu butuh dibere, da lain jalma miskin!” (Gak butuh dikasih, bukan orang miskin)

Ada yang pernah?

Tidak perlu aneh (seharusnya) menemukan saudara kita dengan karakter di atas. Toh di jaman nabi sudah ada orang-orang yang bergitu ter..la..lu…

Memang dasar ya itu orang, sudah untung dibantu, dikasih enak, bukannya syukur malah sewot. Sombong banget itu orang, sok kaya, sok jaim, sok kuat, sok hebat…dst. Dasaaar tidak tahu terima kasih, gak tahu diri. Huh!

Mengkel ya? Kapok?

Itu tandanya kita masih manusia dan masih bernyawa di dunia ini, guys. Namanya juga dunia, penuh drama panggung sandiwara, begitu kata Om God Bless 😀

Banyak yang sukses ujian sabar dalam musibah, pun sabar dalam menghindari maksiat. Walau penuh dengan tetesan darah, cucuran peluh dan air mata, kita mah paling sabar pokoknya kalau tertimpa musibah apa saja, insya alloh deh tangguh. Dari mulai kesandung, sampai berkabung. Sabar tidak melakukan dosa, juga alhamdulillah sakses. Seperti menghentikan permanen aktivitas bajak-membajak lagu, film, disertasi, status, foto mantan (?) secara total, maupun istiqomah pensiun dari begal-membegal.

Tapi, sedikit kita sabar dalam taat. Terlalu fokus ingin orang mengapresiasi kita yang menurut diri sendiri prestisius. Butuh sekali pengakuan sosial supaya tenar. Dengan atau tanpa sadar.

Menyadari niat yang tulus ikhlas untuk bersedakah karena Rabb, itu adalah nikmat. Tugas selanjutnya, mempersiapkan mental supaya anti puja-puji maupun caci maki.

Mungkin engkau tak hiraukan sanjungan itu, tak ada lagi dada yang bergemuruh. Tetapi mengapa ketika dirinya antipati terhadap “kesholehanmu” kau tersinggung, kesumat di dalam dada.. Segampang itu tergoyahkan nafsu keakuan.

Sehasrat itu mendamba atribusi yang terlalu profan.

Jangan. Itu penyakit, guys. Amalan sia-sia, juga tak sehat buat lambung saudara. Sabar dalam taat jauh lebih berat. Jelas, hadiahnya surga. Justru bingung dari mana dapat pahala sabar kalau hidup serba mudah.

Sekali lagi, kita masih merantau di dunia guys. Kalau ada bisikan ingin merasa lebih anu dari orang lain, buru-buru ingat deh kita begini karena Alloh masih tutup aib kita di mata mereka.

Life is always biasa-biasa saja. Mau dipuji biasa, dicaci juga biasa saja. Tak ada bedanya.

Mengetahui dapat menghimpun syukur dan sabar dalam satu waktu adalah karunia. Sedekah bentuk syukur dan sabar. Sabar untuk tidak mengharapkan pujian maupun menghadapi celaan. Afdholul imani as shobru wassamakha (iman yang utama sabar dan memaafkan). La tahzan. Alloh bersama orang-orang yang sabar. Dan kreatif mengolah masalah.

Once told me, that us humans are like plain papers. But if you shape yourself right, you can make yourself fly, like paper planes.

Selamat berkreasi dalam perantauan ini, guys.

Wallohualam.

Dari penulis yang hina, insomnia dan belum tentu sabar pula. (Doakan ya) 😀

 

(Tulisan ini juga diunggah di blog kedua saya http://www.viniklima.blogspot.com)


Second Home

24 September 2013

Seperti halnya mengajukan KPR (Kredit Perumahan Rakyat), ‘membangun’ rumah kedua di dunia maya yang khusus menampung aspirasi saya di dapur dan sekitarnya pun perlu persiapan matang.

iPod 168

“Lemon and Friend”

Cita-cita saya yang lahir beberapa tahun lalu belum tercapai juga. Sepele sih, saya selalu gak pede. Padahal, bikin blog masak-memasak mungkin ga sehoror peperangan antara ManusiaVsZombie. 😦

Dan kali inipun saya beralasan menahan RAPBN (Rancangan Aspirasi Perdapuran dan Belanja Negara) karena nunggu genap umur 27 tahun (apa hubungannya? ga ada sih, namanya juga ngeles hehehe). Tapi, konon di umur kita yang gak tua-tua banget segitu, manusia berhenti nambah umur (ini kata oknum di PHG). Balik lagi ke pokok permasalahan, intinya ya begitu.. saya rasa upaya mempercepat bukan mempertakut *Vickynisasi*, pembangunan rumah ke dua itu perlu. Di samping menyalurkan energi berlebih, blog baru saya itu nanti secara mingguan diisi hal-hal yang ringan, gak mikir berat-berat. Semacam rumah yang menampung beragam aspirasi “pekan nafsu makan”.

Oh ya, untuk selanjutnya, saya akan kembali mengabarkan situasi terakhir dari lokasi kejadian. Demikian dapat saya laporkan, kini kembali ke studio.

-___-


Little Tiny Disturbance

6 August 2013
20130920-130210.jpg

“Tanpa Nama” – Paperclip

Energi saya malam ini sepertinya sedikit liar, gak tahu, mungkin salah nelen makanan ringan. Tapi tenang, ini bukan mau curhat cinta-cintaan. Di samping eike ga lihei, pun saya cukup tahu diri untuk tidak membuat kalian muntah-muntah hihih.

Baiklah saya mulai menyusun kalimat pengantar menuju objek penelitian (kayak skripsi).

Beberapa pekan lalu, anak desa ini lagi gandrung merangkai paperclip alias penjepit kertas yang bagi abege era ’90an adalah keren benda imut berwarna ngejreng itu nangkring selusin di krah baju sekolah. Mungkin saya titisan mereka..

Paperclip berbagai ukuran, bentuk, dan warna itu, singkatnya dengan amat mudah saya dapatkan di toko buku tanpa satu kendala yang berarti. Tak lupa hardware palu, gegep, dan tang amatir pun saya temukan di pojok toko ATK Plaza Indonesia tanpa rintangan yang menghadang. Ini contoh kemerosotan pencapaian seorang backpacker. Jangan ditiru ya!

Kemudian saya merangkai beberapa bentuk yang sebenarnya tak berbentuk-bentuk amat, dari Si penjepit kertas itu. Ada yang konon mirip serangga, cumi-cumi, laba-laba, dan robotrobotan. Semuanya kawe.

"Bugs" - Paperclip

“Stanley” – Paperclip

"Spidtopus" - Paperclip

“Spidtopus” – Paperclip

"Marley" - Paperclip

“Marley” – Paperclip

"Tanpa Nama" - Paperclip

“Tanpa Nama” – Paperclip

"Siapadia" - Paperclip

“Siapadia” – Paperclip

Rada emeizing norak sih ketika benda-benda asing itu lahir dari karya tangan saya sendiri. Jarang-jarang iseng sampe merambah ke dunia pertukangan.

Tapi, saya mencurigai diri sendiri, jangan-jangan kalakuan saya ini gara-gara habis nonton film Pasific Rim. Saya anggap kalian ngeuh dan hapal dengan ikon rada ngehits yang satu itu. Populer di masanya, masa kejayaan kekinian (konon) yang serba ‘matic’. Mbuhlah..

Semua mungkin sepakat kalau secara visual film itu lumayan, meski ada kurang-kurang soal cerita yang cengeng mah ya masih bisa dimaafkan. Lagian siapa saya berhak menghakimi karya orang yang bukan kapasitas saya sebagai manusia baru nongol kemarin sore?heheh.

Yang ngeselin-yang saya ingat-adalah nama sang robot superhero bernama Striker Eureka. Namanya kayak mbak-mbak kekasih sensei saya di kelas les bahasa. Si Eureka alias Si Striker inilah yang bikin saya tidak tidur selama pertunjukan berlangsung. Bukannya saya berpaling hati dari Si Gipsy sebagai lakon utamanya. Tapi Eureka membuat saya terjebak mikir yang berat-berat. :-s

Striker mengingatkan saya pada Yoshihiro Francis Fukuyama ketika dalam perenungannya melonjak dari kursi dan berteriak “Eureka!”, lalu mengumumkan pada dunia soal kapitalisme-liberal sebuah The End of History.

Fukuyama ‘menyaksikan’ tembok Berlin runtuh, Soviet berantakan, dan kapitalisme mendunia. Ia yakin telah menemukan ruang akhir sejarah seperti halnya Karl Popper saat menegaskan masyarakat terbuka (open society) yang diikuti oleh murid fanatiknya George Soros bahwa dunia telah menemukan kisah akhir proses sejarah, kapitalisme liberal adalah sebuah ideologi alternatif hanyalah impian kosong.

Mungkin ini yang disebut sebuah kondisi di mana sosialisme sudah punah, ideologi alternatif tamat.

Pada titik inilah Fukuyama mencapai tahapan fatalistik dalam menemukan kebenaran filsafatnya. Dengan abrakadabra dia menghentikan laju sejarah, melemparkannya ke ruang bejana yang vakum, lalu meninggalkan laboratorium sembari tertawa merasa sudah menemukan inti kebenaran.

Seandainya Fukuyama boleh saya terjemahkan, mungkin caranya itu merupakan upaya melatih pikiran manusia sampai pada titik nol, sampai pada ruang bebas tanpa prasangka,

Sebab, katanya, setelah mencapai titik itu seseorang bisa melihat bahwa bahasa memiliki alat-alat hermeneutika atau penggalian atas makna yang tidak ditutupi oleh asumsi-asumsi.

Seharusnya pula saya tidak perlu jauh-jauh (atau mungkin gak ke mana-mana) mental ke panggung sejarah. Ini kan soal kesenangan menonton film dan membuat benda-benda iseng. Jauh ya, jauh nyasar-nya.

 

 


Yuppies

1 August 2013

Yuppies (Young Urban Professionals)

Kaum Yuppies sependek yang saya ingat, mereka adalah broker saham, investments manager, akuntan, bankir, arsitek dan kelas menengah intelektual lainnya. Pada awalnya juga mereka memberontak sistem beku kapitalisme, mereka membangun struktur baru kapitalisme yang memberontak pada konglomerasi modal besar, kaum Yuppies ini kemudian menang pada tahun ’80an, yang dikenal sebagai dekade Free Liberalism, dekade Privatisme ala Thatcherian. (CMIIW).

Para intelektual progresif ini pelan-pelan menjadi kelas menengah yang mapan, kelas menengah yang kemudian berkompromi pada pemodal besar. Mereka semacam klik terbesar agen konglomerasi.

Kaum Yuppies membangun benteng neoliberalisme yang menjadikan mereka serdadu paling ganas dari sistem pasar bebas. Entahlah, saya sudahi luapan energi yang ngasal ini. :-s


Takhayul

1 August 2013
"The witch and The Dwarfs" - Basil seeds, chili

“The witch and The Dwarf” – Basil seeds, chili

“Ulah calik dina lawang panto bisi nongtot jodo.”

“Ulah mindeng mandi ti peuting bisi jadi parawan kolot.”

Pamali!

Pada bingung artiin bahasa itu? Tenang, saya kasih nih terjemahannya dari narasumber lumayan credible yaitu mantan Ketua Karang Taruna di desa yang sekarang hijrah ke Jakarta. FYI, sebagai orang Sunda dia nggak murtad-murtad amat dibandingin temen saya yang di PHG heheh (nanti saya ceritain di kesempatan yang lain).

Arti paribasa itu adalah:

“Jangan duduk di gerbang pintu, nanti susah jodoh.”

“Jangan sering mandi malem-malem, nanti jadi perawan tua.”

Sebagian kita pasti tidak asing dengan ragam seloroh yang bernada seolah-olah sakti itu. Bagi manusia-manusia yang dibesarkan di era keterbukaan informasi kekinian itu bisa jadi disebut pembodohan. Reaksi spontan anak muda yang wajar dari semangat penampikan massal. Mbuh..

Ibu saya dan ibunya seorang takhayul revolusioner. Saya ambil contoh diri sendiri, (maaf lagi-lagi narcissism detected), kalau lagi khilaf, kadang percaya-percaya aja. Mungkin di jaman nenek saya baheula, motivator ulung belum selihai Mario Teguh dalam merangkai kalimat Tuhan menjadi ear-catching sehingga kelihatan bijak, susah ditebak, misterius dan (semoga tidak) kagetan. Sebagai individu dewasa muda pecinta imajinasi, saya merasa perlu mengambil kenyamanan dan keamanan dari beberapa takhayul. Karena di beberapa situasi dan kondisi, ketidaksengajaan itu malah menjadi keberuntungan hahaha. Entahlah, saya hanya mencoba menyesuaikan.

Kalau perlu mengambil contoh agak jauhan ke Cina, misalnya, orang sana memanfaatkan takhayul untuk membalaskan dendam sejarah terhadap Jepang di bidang industri otomotif.

Orang Cina tidak mau beli mobil-mobil Jepang. Mayoritas orang di Beijing punya kebiasaan memasang foto Mao Tse-tung di depan mobil mereka agar mobilnya tidak tabrakan. Menurut mereka, malaikat maut takut sama gambar ketua Mao, gemetar dan akan lari terbirit-birit bila lihat gambar Mao.

Ini bukan kebodohan bagi bangsa Cina. Tapi ini sebuah terobosan budaya di mana rasionalitas komunisme dijadikan alat dasar untuk penghancuran takhayul bagi masyarakat walaupun kita membaca itu sebagai takhayul juga. Masa’ malaikat takut sama gambar manusia, sudah mati pula, ini sama takhayulnya kalau kita duduk di pintu maka bakal susah jodoh. Karena yang bener tuh ngalangin orang lewat woi! 😀


A Letter to The Moon

16 July 2013

If you can find one friend in your lifetime that you can trust with your secrets, who accepts ‘all’ of you, does not judge you, then I reckon you are truly blessed.

iPod 992

“Louly Fish” – R.I.P

11.00 PM

On an overcast day I sit here at my computer tapping away this message to you, hoping we can meet up over the holidays sometime soon.

I went down to the mini library-room today to get some more books out and then over to the Aksara where I picked up a few things that I have been meaning to get, shampoo etc…

It was great chatting to you last night, guess what I still have the sore tummy, I think its going around as I have been feeling a bit off colour since suheri day but I hope its not like the bug you have had. 😀

2012 has been a challenging year on many levels . And I am not one to make resolutions, only because I believe life is a beautiful mystery.

There are many things I have no control over. Rather I am person to see every day as an opportunity to become a better person and follow my dreams. Whether I achieve my dreams is not that important. But the fact that I have tried my best.

*****

Because you understands me, and gives me wonderful advice, and accepts all of me — the good and the bad. Thank you sist. Just

Hmm one more thing your quote is so true, “little bit of kindness goes along way” and I know you are one person who knows how to make me laugh. I had tears in my eyes this afvo from all that giggling.

I had a lovely day, a bit of everything, springcleaning included hehehe. I then ate far too much when I miss you 😀

But not long, next year after first semester, and then I can have my life back hihihi.


26

8 July 2013

“Yours” – Chocolate cup cake by my dad

Selamat menunaikan ibadah puasa! Eh besok atau lusa sih? *mbuhlah, saya sudah empat bulan mematikan–dengan santun dan penuh konsentrasi–televisi di kosan saya* (kudet gak apa-apa, asal tetep kewl) hehe..

Tapi, sebelum itu saya mengucapkan selamat ulang tahun untuk saya sendiri. Yaay! Hip-Hip Hore!..

Ini adalah tahun pertama saya lewat seperempat abad, alias 26 tahun. Hmm usia yang (konon) lewat dikit dari kegalauan hidup sebagai perempuan dewasa muda *tsaah.. Dulu pernah teman saya yang wartawan vivanyus bilang, bahwa umur 25 tahun cewek berada pada titik puncak kegalauan terhormat. Saya gak paham persis maksud beliau apa, tapi saya takzim dengan prase-nya itu, kedengaran keren, kan?

Jadi itu yang memengaruhi saya untuk semakin deg-degan menyongsong upacara tadi malam (yang tentu saja tidak serius). Sumpah! Melototin jam secara tidak sadar itu pekerjaan yang meletihkan, menggiring saya kepada mood yang eruptif, apatis, agony. Campur-campur seperti saat saya  bingung mewarnai hihih.

Dan saat jam dinding berdenting lewat jam 00.00 waktu indonesia bagian barat rada ke utara dikit, perasaan itu lepas juga pemirsa! Seraya menghela, saya lega akhirnya umur 26 juga hahaha. Padahal apa coba, nothing special tho? Biasa-biasa aja. Bumi tetap berputar, matahari tetep dari Timur ke Barat, Si Emang sayur tetep teriak penuh antusias di pagi hari menjaja cabai kriting. Yawes.

Begini tho rasanya usia 26. Gak nyangka, Sang Pemilik Hidup memberikan saya perpanjangan waktu di dunia yang bodor ini. Kesempatan yang tidak berulang. Bersyukur, ya harus dong 🙂

Lantas, bagaimanakah saya memaknai umur 26 tahun ini? Benarkah tambah usia berhubungan dengan kerutan? *gaya pembaca narasi gosip* :p

Oh, tentu, tentu saja tidak ada makna kesan, petuah, kata-kata bijak, nilai moral dari saya, seperti biasa. Yang pasti 26 adalah angka setelah 25 juga hasil 13×2. Demikian.

Waktunya makan siang! 😀


(Bukan) Soal Cinta

20 October 2012

“Sita is abducted by the king Ravana” – Wikipedia.org

Kapan terakhir kali saya bicara soal cinta? Ini bentuk pertanyaan yang tidak bertanya 😀

Mungkin sejak enam tahun lalu. Bukan menghindari tema-tema cinta atau segala romantika di dalamnya untuk jadi bagian catatan kecil ini. Bukan pula karena canggung dengan stigma menye-menye yang kadung terbentuk di luaran sana. Toh saya tidak begitu antusias perihal ekspektasi orang lain terhadap saya. Sebenarnya, memang tak ada alasan persis. No answer is the answer.

Saya baru membaca (lagi) Ramayana Reborn, komik hyper-reality soal manusia masa depan berbasiskan cerita Ramayana setelah dunia dihancurkan oleh perang nuklir. Kecuali ekplorasi itu, tidak ada yang baru yang menarik buat saya. Drama perebutan kekuasaan disisipi romantika percintaan yang sangat menjemukan. Semacam menekuri romansa Rama, Sita (Shinta) dan Rahwana tetapi dari perspektif “protagonis”. Entahlah, saya hanya bosan.

Penulis itu, mengapa tak ada yang menuturkan sudut pandang ketokohan Rahwana. Mungkin akan menjadi rasa baru bagi khalayak yang doyan komplen seperti saya misalnya. Mulai saja dari cinta Rahwana kepada Sita.

Rahwana, dialah seorang pejuang cinta, sesungguhnya. Dari tokoh Rahwana, kita menjadi tahu bahwa setiap orang pasti memiliki cinta sejatinya, entah yang ia miliki (nikahi) atau tidak. Mencintai Sita adalah takdir Rahwana.

Izinkan saya untuk membuat Anda semakin muntah-muntah ya.. 😀

Orang kadang-kadang menikah karena keadaan. Maka berbahagialah orang yang diberikan hadiah oleh Tuhan untuk menikahi orang yang dicintainya sejak awal, orang yang telah ditentukan menjadi takdirnya. Menikah itu nasib, tapi cinta itu takdir. Siapa yang mampu melawan takdir?

Tuhan selalu menyimpan takdir cinta itu di dalam rindu setiap orang. Dan orang yang berani adalah orang yang berjuang untuk mewujudkan takdir itu sebagai hadiah, bukan sebagai gelisah yang ia simpan di laci-laci langit kenangan.

Maka Rahwana telah menunaikan takdirnya untuk mencintai Sita. Cukup itu saja. Soal akhir cinta yang tragis, justru itu merefleksikan suatu pengorbanan. Tak ada yang salah dengan itu. Karena, pengorbanan, di satu waktu, adalah sesuatu yang layak bagi cinta.

Demikian. Terima kasih.

Silakan, muntah-muntah dilanjutkan :p


Dalam Seni, Kritik atau Monopolistik?

14 October 2012

“Bengong” – Compact powder

Dalam banyak hal, kritik sering keliru (meleset) dari benar. Mengapa? Karena, kritik cenderung sering tertinggal satu langkah dari karya seni. Ketertinggalan langkah ini tak jarang membuat kesenjangan jarak antara kritik dan objek kritik, sebagai objek persoalan. Kesenjangan segitiga antara kritik, karya seni dan publik atau kritikus, seniman (pencipta) dan penontonnya, secara empirik telah menjadi wacana perdebatan klasik yang tak henti-hentinya dari zaman kuno (ancient) hingga kiwari. Secara simplistis, barangkali orang akan melihat bahwa persoalan kesenjangan itu terletak pada perbedaan kemandirian kepentingan dan tuntutan dari ketiga faksi yang berbeda, antara kritik, karya seni dan publik. Polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan dalam banyak hal memang sulit untuk dijembatani tapi, masalah sesungguhnya tidaklah sesederhana itu.

Dalam bukunya The Failure of Criticism, Henri Peyre menulis: The charge of decadence began to be favorite one which critics around 1820-1850, when they resorted to words of moral approbium to damn the writings which, for literary or partisian reasons, they did not like. In France all the great romantics (Lamartine, Hugo, Musset, Balzac, for example) were called decadent, separately and collectivity. Nisard, a powerful critic in his day, fired a big blast at the romantic in a volume one The Latin Poets of The Decadent Era (1834), which implied throughout that Hugo and his friends stood Boileau and Racine in the same relation as Ausonius and Rutilius Nurmatianus had stood to Virgil and Lucretius. Sainte-Beuve, one must regretfully acknowledge, took up the cudgels after 1840 and many of his articles then denounced. (Peyre, 1968/184-185).

Kesalahpahaman, ketidakmengertian, a priori, prasangka –sangat sering juga ketidakjujuran- sehingga itu disebut sebagai “polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan” itulah yang antara lain sering menjadi penyebab timbulnya jarak kesenjangan antara seniman, kritikus dan publiknya. Kritik menulis tentang karya-karya musik Johann Sebastian Bach (1685-1750) pada zamannya: “Musik Bach hanya berkaok-kaok, melolong-lolong dan biki gaduh saja, musiknya sedemikian bergaung dan menggebu-gebu. Sehingga tak ada sepatah kata pun yang pantas dipakai untuk menjelaskan (kegaduhan) musik itu”. Dibandingkan dengan karya-karya para komponis sesudahnya –apalagi dibandingkan dengan “kegaduhan” musik masa kini- musik Bach ternyata jauh lebih lembut dan tidak terlalu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Betapa fatalnya kesalahan sebuah kritik!

Hal itu mungkin terjadi, karena kritik sering melupakan konteks karya seni dalam waktu yang rentang dan tegangannya secara akomodatif sangat niscaya untuk terus berubah. Pertanyaan mustahilnya adalah –kritik yang dapat mendahului waktu, sehingga kesenjangan antara kritik, seni dan publik bisa direduksi?

Jarak kesenjangan memang sering begitu jauh antara kiritik, seni dan masyarakat pendukungnya. Konsekuensi pertanyaannya adalah apakah seperti dasar konsepsi ideal (ideologi?) seniman pencipta karya seni yang secara independen jauh lebih leluasa dapat bergerak secara subjektif –kritik seni (juga) bersifat subjektif? Sebaliknya, pertanyaan yang sering berguna dari sudut (kepentingan) yang lain adalah, dapatkah kritik seni bersifat objektif? Saya kira, kedua jenis kritik yang sering diandaikan oleh seniman, kritikus maupun publik sebagai kritik yang ideal itu sesungguhnya sama sekali tidak eksis. Artinya, tidak ada kritik yang sungguh-sungguh objektif. Sebab, kritik objektif (utopian) dalam suatu karya seni adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Pada dasarnya, kritik adalah sebuah tanggapan dalam bentuk perdapat pribadi berdasarkan pandangan yang mengacu pada suatu pengalaman tertentu seseorang. Acuan pengalaman seseorang itu bersifat pribadi dan tidaklah netral. Kesenjangan (konflik persepsional) segi tiga antara karya seni, kritik dan publik, yang dipresentasikan melalui pandangan seniman, pendapat kritikus (autoritarian dalam bidangnya) dan persepsi masyarakat (pencinta seni) itu sendirilah yang justru mencerminkan keadaan objektif yang sesungguhnya, yaitu bahwa kritik objektif tidaklah mungkin. Sebaliknya, akan selalu ditemui faktor-faktor dalam sebuah kritik seni yang baik. Di dalamnya, secara taken from granted, telah mengandung hal-hal yang diharapkan. Oleh  sebab itu, kritik yang baik harus selalu mengandung hal-hal yang diharapkan dapat mencerahi objek kritik, sebagai subjek persoalan. Dalam hal ini, maka karya seni yang telah mengalami kemandiriannya sebagai sebuah ideal yang “born to be free” (and to be freed), harus selalu bisa dilihat posisi kenetralannya baik dari sudut pandang sang seniman pencipta, kritikus maupun masyarakat pendukung seni.

Bukankah pada dasarnya karya seni yang telah di(lahir)kan akan menemui masyarakat penerimaannya secara bebas dan “liar” dengan kemandiriannya sendiri? Sebuah karya seni harus diberikan hak hidupnya sendiri agar ia menerima kemandiriannya, bebas dari “kuasa” publik-kritik-maupun penciptanya sendiri, yang sangat sering bersifat monopolistik dalam hal “apa yang dianggap benar”.

Jakarta, 13 Oktober 2012, 23.15 WIB

 

 

 


Koreksi

9 September 2012

“Buku Harian” – Cafemuslim.net

Orang-orang itu telah melupakan bahwa belajar bukan melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu. Belajar sama dengan perayaan dan penghargaan buat diri sendiri. Serius ya perlu. Tapi ingat siapa dirimu. Kekecewaan itu, katanya, energi yang maha besar. Justru ketika kecewa datang, kau diberi isyarat oleh semesta untuk merefleksikan diri, untuk mengubah cara, menetapkan tujuan baru dan menyingkirkan halangan yang tak perlu.  Pikiran menentukan kehidupan. Santai, semuanya bisa dicapai.



Arsir

9 September 2012

“Soca” – Pencil, charcoal

Kata orang, petualangan sesungguhnya itu dimulai dari “P”. Bagiku, ini sebuah dimensi yang lekang. Dan aku menghilang. Jauh ke sebuah wilayah entah. Yang di dalamnya tak ada keberlimpahan gelisah. Hanya aku dan desir angin yang menimpuk daun kuping.

Berbulan-bulan, bertahun-tahun aku mungkin dapat menghilang. Jauh. Karena secuil takut. Takut yang amat merenggut, kehangatan yang selama ini disekap rapat-rapat. Takut akan keniscayaan adalah janus, senjata bermuka dua. Bila digunakan dengan baik ketakutan akan mendidik. Takut ditilang polisi, takut dicemarkan nama baik, takut IPK turun. Takut adalah batas. Sadar bahwa manusia terbatas.

Sekiranya aku hilang karena takut, anggap saja itu sebuah marka batas. Lantas terlelap. Mengendap.

“Jam berapa sekarang? Ra?” Mas Aga mengusir lamunanku.

Aku melirik jam tangan dan ternyata sudah pukul 08.00. Sesuai manajemen waktuku, sampai di Desa Sumur. “Pas waktu sarapan deh di rumah Pak Wi,” seloroh Gita memotong. Yah, memang di kepalanya hanya dua hal, belanja dan makanan. Tapi, karena doyan makan itu, justru ia jadi kemenakan PakWi dan sekawanan di YKBI (Yayasan Konservasi Badak Indonesia). Aku dan Mas Aga punya nama kesayangan buatnya, Nona, lantaran suatu kejadian besar di hidupnya.

Mas Aga tersenyum. Dan seperti biasa hanya melontarkan balasan dari tingkah adik-adiknya dengan satu kata membosankan: “Dasar kamu”.

Dua jam perjalanan kami tempuh dengan mini bus dari Labuan ke Desa Sumur untuk ekspedisi sekaligus silaturahmi dengan Pak Wi, Wiroto Mangkusudibyo. Orang kebanyakan salah menerkanya orang Jawa. Meleset! Pak Wi asli Sumatera Utara, lama bermukim di Amerika. Puluhan tahun jadi tenaga ahli di WWF dan kini, memimpin sebuah yayasan ihwal satwa langka, YKBI mungkin sejak aku masih SMA. Dalam pengabdiannya itu, Pak Wi tinggal sendiri di tengah kepungan hutan Ujung Kulon di antara pulau-pulau kecil nan genit. Yang merangsang indera para backpacker untuk berjibaku keliling Pulau Peucang umpamanya.

Sebuah rumah bambu dengan anyaman khas Parahyangan tampak terbuka pintunya. Namun, bukan itu yang menarik kami. Adalah sang tuan rumah yang menyambut dengan ramah. Khas senyum Pak Wi yang renyah mengusir sekelumit lelah. Bersalaman, bertanya kabar yang bukan basa-basi pun mengawali pertemuan kami. Dan benar saja ramalan mujarab Gita, kami diberondong sarapan. Telor ceplok, udang ebi, ikan selar, sambel pedas-manis, lalab, dan nasi merah panas. Semua terhidang di meja makan ini hasil kebaikan alam. Puji syukur, tumbuhan yang tak pernah mengeluh memberi oksigen, akar yang tak lelah memberi makan sampai ke daun dan batang. Andai manusia mendaras dari alam, bahwa kebaikan merupakan konsistensi, bukan akumulasi. Kebaikan yang sama rupa dengan yang terpendar dari lelaki tua Pak Wi.

“Kita tidak membantu Pak Wi, Ra. Kita membantu menyelamatkan aset negara, dan membuat para media sentimentil itu membuka cakrawala, tidak terjajah politik argumentatif. Fokus pada skala urgensi prioritas.” Mas Aga meyakinkanku minggu lalu, dan memang hati ini tergerak untuk melawat Ujung Kulon yang tengah diperdebatkan banyak media komoditi nasional.

Populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon, saat ini kurang dari 60 ekor. Semua mafhum, berbagai pihak, baik pemerintah maupun LSM mengupayakan penyelamatan hewan langka ini dari ancaman kepunahan.

“Di tengah perselisihan program JRSCA, urgensi kesadaran memelihara aset negara, justru seharusnya menjadi pokok persoalan yang utama,” sumbangsih pemikiranku pada Mas Aga yang serius membolak-balikkan makalah presentasi untuk minggu depan di seminar Center For Biodiversity Strategies, UI.

Pertengahan Juni 2011, pemerintah meluncurkan program Javan Rhino Study and Conservation Area (JRSCA). Program ini diklaim sebagai bentuk konservasi penyelamatan hewan langka, yakni badak jawa dari krisis habitat, hingga ancaman kepunahan. Kementerian Kehutanan membawahi proyek pembangunan pagar listrik sebagai penjabaran program JRSCA tersebut bekerjasama dengan Yayasan Konservasi Badak Indonesia (YKBI). Pembuatan second habitat untuk badak jawa ini amat diperlukan. Selain melindungi badak, pun memudahkan peneliti mempelajari badak jawa (Rhinoceros sondaicus) endemik Jawa yang berdasarkan data WWF Indonesia jumlah badak jawa di TNUK tinggal 29 ekor.

Sayang, LSM dan media berat sepihak mendebat hal tersebut. Pak Wi merupakan salah satu penggagas program yang telah disetujui oleh pemerintah itu. Namun, aku mencium sebuah tekanan timpang. Pak Wi dikecam, dicemar, lantaran menurut mereka, pemagaran berlistrik justru merusak ekologi dan membatasi migrasi satwa di area Taman Nasional. Belum lagi perihal pembukaan lahan untuk memageri TNUK yang dianggap perambahan hutan. Untuk mendirikan pager berlistrik, pepohonan harus dibabat.

“Kalau tidak dipagari, hewan besar pelihara manusia bisa masuk. Kerbau, misalnya, dia juga senang berkubang yang sama dengan kebiasaan badak. Kerbau membawa bakteri Tripanosoma yang dapat menyerang badak,” Pak Wi menunjukkan denah pagar di wilayah hutan lindung.

Aku belum seratus persen percaya pada data-data dokumentatif. Aku perlu tandang ke lokasi, ujarku pada Mas Aga. Dia sangat berkenan, karena sebagai Ketua Association For Tropical Biology and Conservation Asia Pasific Chapter, ia paham sikap YKBI.

“Aku nggak habis pikir sama media nasional itu. Apa mereka nggak merasakan sulitnya mengkampanyekan cinta badak sama masyakarat? Bisanya cuma mengecam, menuding tanpa pernah observasi,” cetus Gita. Sejak terpilih jadi duta badak, ia makin tekun belajar tentang alam dan kelangsungan hidup satwa langka. Menurut Gita, pengetahuan satwa langka seperti badak jawa di kalangan masyarakat amat minim. Dua tahun sudah ia mati-matian mempromosikan itu, namun, kebanyakan terkendala dari segi teknis.

“Kita perlu lebih sabar pada proses, dan saya kira kita tidak dulu menyeah. Masih ada harapan,” jawab Pak Wi.

“Tapi Bapak punya hak jawab atas aksi represif ini di sebuah forum akademis, secara intelektual,” sanggah Mas Aga. Aku maklum, karena sebagai ilmuwan, jejak rekam Mas Aga sudah malang melintang di dunia konservasi dan sejenisnya.

Pak Wi mengayuh perahu kecil ini melintasi perairan di antara Pulau Handeuleum dan Pulau Peucang, tepat di saat matahari menyegat. Aku membenarkan posisi topi sambil menyeringai ke langit menyapa terik.

Dua jam tak terasa mengapung di air. Kami menapak daratan di sebelah Selatan Desa Sumur alias Taman Jaya. Lokasi di mana JRSCA dibangun.

Aku langsung observasi. Pemagaran dilakukan dengan luasan 3.000-4.000 hektar, dibatasi laut di sisi utara dan selatan. Di area timur sepanjang 20 kilometer dan sisi barat 2 kilometer. Pagar berlistrik itu melingkupi Taman Nasional Ujung Kulon. Pemagaran bukan persis membelah Semenanjung Ujung Kulon. Tetapi, beberapa kilometer di area dalam, dekat dengan pemukiman warga. Pembukaan lahan hutan bekas perambahan di Desa Ujung Jaya, misalnya, luas area sekitar 30 meter dan panjang 5 kilometer dari Cilintang menuju Aermokla. Ini mirip dengan apa yang dilaporkan oleh analisis risiko lingkungan (ERA) Rencana Pembangunan JRSCA di TNUK November 2010 lalu, gumamku.

Aku dapat mengerti mengapa para pengamat LSM kekhawatiran kelompok LSM memuncak, lantaran puluhan alat berat masuk hutan lantas menumbangkan pepohonan.

“Yang menjadi perdebatan, bahwa klaim atas area yang dibabat itu menurut pemerintah, justru bekas perambahan, alias hutan yang telah rusak,” aku menelpon redakturku di Jakarta untuk follow up.

“Enggak bias Ra, pokoknya kamu bikin sesuai pesanan, hajar program itu. Saya sudah siapkan di sini semua. Kamu formalitas di situ,” jawaban di ujung telepon ini menghenyak. Aku mendebat.

“Silakan, tapi hak saya untuk menyelamatkan nama baik. Saya tidak mau disertakan dalam tulisan Bapak, saya berhak menolak sebagai professional.”

“Jangan keras kepala! Media selalu kontra dengan pemerintah. Kita tidak mau mati ditelan mayoritas,…”

“Kalau begitu saya punya cara sendiri,” aku mematikan hubungan.

“Program JRSCA bukan “membelah” Semenanjung Ujung Kulon tetapi, membuat semacam perluasan atau ‘second habitat’ bagi badak. Badak adalah hewan langka yang hidup di dataran rendah,” itu kalimat pembuka di blog yang kutulis. Badak hidup dekat manusia, karena itu rentan terhadap bahaya. Pemagaran dalam konteks program JRSCA guna mengurangi ancaman terhadap badak dari spesies hewan besar seperti kerbau dan banteng.

Pak Wi sendiri menganggap badak sebagai simbol kehormatan Indonesia. “Kalau badak jawa hilang, tidak ada lagi karisma Indonesia. Badak adalah hewan karismatik,” begitu katanya.

Aku yakin, badak sala satu megafauna paling terancam kepunahan di seluruh antero dunia. Lembaga acuan IUCN (International Union For The Conservation Of Nature and Natural Resources) telah menggolongkan badak jawa dengan kategori tertinggi yaitu Critically Endangered, bahkan semenjak 15 tahun lalu. Akan sangat memprihatinkan bila badak jawa sebagai amanah dan aset bangsa tenggelam dalam kegaduhan politik yang sedang berlangsung. Bedanya, bila politik praktis penuh dengan abstraksi, maka kepunahan badak adalah nyata dan proses ini irreversible.

Aku yakin tidak ada aksi memfragmentasi hutan atas program JRSCA. Sebab, pembangunan pagar tetap mengacau pada mobilitas hewan hutan. Setiap 1 km pagar, terdapat koridor dan tutupan kanopi yang menyambung sehingga primata bisa memakainya untuk melintas. Artinya, tetap tidak mengisolasi hewan dari habitatnya. Pagar listrik pun setinggi 40 cm, sehingga satwa kecil masih bisa lewat di bawah pagar-pagar itu, bahkan primata arboreal seperti lutung dan owa jawa yang sepenuhnya di tajuk pepohonan dapat lewat dengan mudah. Kedua spesies ini seperti halnya badak, hanya terdapat di pulau Jawa dan tidak di tempat lain dunia, sehingga digolongkan endemik.

“Dan harus diingat Rara, area second habibat seluas 110 hektar ini adalah lahan bekas, perambahan,” kata Pak Wi.

“Perambahan hutan itu isu lama, apa upaya YKBI selama ini, Pak?”

“Soal perambahan, sudah ada perhatian dari pihak taman nasional. Selain itu juga sudah ada resort based management untuk bisa memantau. Untuk peruburuan, nanti akan ada pos di tiap koridor sehingga bisa dipantau. Kalau terbukti meningkatkan resiko perburuan, ya nanti tutup saja,” ungkap Pak Wi. Aku puas, karena jawabannya sesuai data.

Gita lebih tertarik membahas tingkah penduduk yang kurang mencintai lingkungan dengan memancing ikan sembarangan. Sebab, justru karena ulah manusia itulah, habitat badak rusak.

“Misalnya air sungai yang sudah tercemar Potasium Sianida. Potasium ini berasal dari bom ikan, dan sangat beracun, bahkan bagi manusia, ya kan Pak?” Pak Wi mengangguk atas pertanyaan Gita.

Perluasan habitat badak amat perlu, mengingat jumlah badak jawa tersisa kurang dari 60 ekor. Perselisihan beragam kepentingan memang selalu ada. Tetapi, hal yang mendasar adalah sosialisasi kesadaran bersama bahwa memelihara aset negara merupakan tugas besar warga negara Indonesia. Bahwa risiko tetap ada dalam menjalankan rencana apapun. Itu adalah ketakutan.

Tapi, takut bukan untuk ditutupi. Seperti sosok Pak Wi. Dalam keheningan, kegelisahan, dan harapan ia percaya. Kesadaran akan menuntun kejernihan hati, bijak dalam berpeilaku. Weninging ati kang suwung, nanging sejatining isi, wejang Ronggowarsito yang kurang lebih berarti keheningan sekaligus kebeningan.

Tapi takut menjadi komoditas sehingga ia dikenankan untuk tidak hilang. Paling tidak dalam jagat politik. Ketakutan adalah represif. Pada siapa saja dan apa saja. Tekanan menjadi senjata itu barangkali yang dilakukan sebagian lembaga, termasuk media. “Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan”, demikian Aung San Suu Kyi dalam jiwa Pak Wi.

 

Pemenang Karya Favorit Kategori C

Lomba Menulis Cerita Pendek Tingkat Nasional LMCR 2011


Imajinasi itu Perlu

24 August 2012

Perlu! Malah perlu bangeuuud! *ngalay ah*

Emang sih enggak segenting kalau kamu masih perlu banget makan nasi meski udah makan bakso terus nyemil buryam.

Tapi, imajinasi yang bikin energi itu jalan. Iya, beneran..

Gini lho bos, fase pertama orang mengenal tulisan itu mengenal huruf kan. Nah, seseorang yang berbakat menelusuri imajinasi di balik tulisan biasanya memiliki ketrampilan dalam mengimajinasikan sesuatu dan membangun rangkaian referensinya dengan rapi dan teratur.

Namun, banyak orang yang gak terlatih berimajinasi, terbatas bacaannya lalu berteriak seakan ingin mengubah dunia *lebay dikit supaya gak horor*

Korban-korban gagalnya berimajinasi ini banyak sekali. Contoh gampangnya, hampir tiap hari orang berantem lantaran chat, SMS, Twitt-war dan…seabreg bentuk kalimat dalam pesan virtual lantaran salah paham. Salah paham, yup, kenapa sampe begitu? *ini bentuk kalimat tanya yang tidak bertanya*

Karena…eh karena sang kodok *fokus! fokus!* Karena, ya itu tadi, kagak make imajinasi.
Antara “anjing” , “anjing!” dan “anjing kau!”,  ‘rasanya’ beda kan?

Meski bentuk tulisan (baca: ketikan), sebenarnya ia ‘hidup’, dalam pikiran orang per orang. Theatre of mind, kalau minjem bahasanya radio announcer mah.

Bos juga jangan lupa, manusia adalah mahluk penafsir. Ia tidak pernah melihat dunia dengan netral, tetapi selalu melalui kepentingannya.

That’s why *gaya*, seringkali orang hanya melihat apa yang ingin mereka lihat dan tidak peduli dengan kebenaran yang sesungguhnya.

Beruntunglah mereka yang memiliki energi spesial yang dapat menciptakan imajinasi atau sebaliknya, memantik imajinasi orang terhadapnya walau hanya dalam bentuk kata-kata.

😉

Keterangan foto: Diambil dari google.com


Tempe!

22 August 2012

“De, tempe langka dan sangat mahal!” demikian bunyi laporan setengah histeris dari si mimih.

Pemerintah ini maunya apa ya? Di tangan orang-orang berkuasa itu, pasar menjadi suatu yang hidup, tapi juga suatu yang bisa dipermainkan.

Krisis tempe ini mengingatkan saya saat spekulasi gejolak harga tumbuhan anthurium yang gak masuk akal beberapa waktu lalu. Inget gak Bos? Waktu itu harga menjadi sedemikian tinggi karena ada corong yang meneriak-neriakkan anthurium mahal, sampe ada orang jual rumah untuk investasi di anthurium. Ratusan juta untuk sebuah taneman ‘entah’ :-s

Lalu apa yang terjadi setelah beberapa lama? Harga anthurium jatuh se-ja-tuh-ja-tuh-nya (a la bang haji)..  Puncaknya, awal tahun 2000, saat di Nasdaq, AS heboh ihwal saham-saham dot com, saham-saham IT, Pokokna mah, semua perusahaan yang judulnya dot com, pasti akan naik ratusan kali lipat harga sahamnya. Semua dana tersalur ke sana.

Gak beberapa lama, kemudian pasar runtuh, begitu juga saat kehebohan saham batubara. Catetan lainnya juga, ketika saham-saham pertambangan yang sejak kenaikan harga minyak, banyak investor melakukan backdoor listing. Masuk ke sebuah perusahaan yang sahamnya tidur di market lalu perusahaan yang di-backdoor diubah menjadi saham pertambangan sehingga, harga naik tiba-tiba.

Dan kini tempe.. Amboi, tempe saja langka, pemirsa! Kacida.. sungguh ter-la-lu..

Cukup menggelitik atas kejadian luar biasa ini, artinya saya semakin ngeuh bahwa yang terjadi ini adalah arus informasi yang diledakkan sama dengan mempercayai pada kepanikan. Inilah jiwa dari zaman kiwari, gembar-gembor terhadap sesuatu tapi tidak menyelesaikan apapun (mungkin belum).

Yang jelas, ada tangan yang malah mengambil keuntungan dari kepanikan pasar. Bos, kalo menyitir Warren Buffet mah : “Yang mendapatkan keuntungan dari kepanikan itu adalah dokter yang tau ilmu jiwa”. So, artinya pasar menjadi sekumpulan orang gila yang kemudian dimanfaatkan. Oleh orang-orang yang sama gilanya. Ini menurut saya lho ya.. (ngomong apa sih vin?) :p

Jakarta, 26 Juli 2012 (lagi deadline)

Keterangan foto: Diambil dari google.com