Perang Urat Syaraf PKS VS Istana

27 February 2019

Jakarta – Perang urat syaraf antara kubu Istana dan Partai Keadilan Sejahtera belumlah reda. Andi Arief, staf khusus Presiden SBY, mau melaporkan politisi PKS Misbakhun ke Mabes Polri. Sebaliknya Misbakhun menuding Andi sebagai penjilat. Apa yang sedang terjadi?

Pangkal masalah adalah kasus Bank Century. Tapi kini giliran kubu istana yang memojokkan PKS. Pasalnya, Staf Khusus Presiden, Andi Arief mau melapor ke Mabes Polri kasus Letter of Credit (LC) fiktif yang diduga dilakukan Misbakhun, politisi PKS yang juga salah seorang inisiator Hak Angket Bank Century. Jika Andi benar-benar melaporkan kasus Misbakhun itu, jelas menjadi aib bagi PKS yang berslogan bersih dan perduli.

“Perang baru itu nampaknya sedang dimulai, kecuali istana yang meminta Andi mengerem langkah tadi. PKS jelas tak akan tinggal diam jika ini terjadi,” kata Abas Jauhari, pengamat politik dan pengajar Sosiologi Universitas Islam Negeri Jakarta.

Sikap Andi Arief pun dinilai Misbakhun sebagai tindakan penjilat. Tak tanggung-tanggung, Misbakhun meminta Presiden SBY memecat stafnya di bidang bantuan sosial dan bencana alam tersebut.

“Kita sedang berhadapan dengan orang-orang penjilat di sekitar presiden, ingin punya poin di hadapan presiden supaya dilihat sebagai prestasi,” kata Misbakhun yang yakin apa yang dilakukan Andi bukanlah atas perintah presiden.

Menurut dia, apa yang dilakukan mantan aktivis mahasiswa itu sudah di luar koridor tugasnya sebagai staf khusus bidang bantuan sosial dan bencana alam. Namun atas tindakan tersebut, Misbakhun pun mengaku siap berhadapan dengan hukum.

“Nggak masalah. Saya siap. Saya tidak gentar sedikit pun,” tegas Misbakhun.

Mengenai tuduhan LC fiktif oleh Andi Arief tersebut, Misbakhun membantahnya. “Itu gagal bayar dan sudah direstrukturisasi semua. Tanya aja ke Bank Mutiara,” kata Misbakhun seraya membantah tuduhan soal LC itu membuat konflik kepentingan dirinya terhadap penyelidikan kasus Bank Century.

Sebelumnya, Andi Arief mengaku memiliki bukti dugaan konflik kepentingan anggota pansus dari Fraksi PKS, Misbakhun, dalam kasus Bank Century. “Kami memiliki bukti kepemilikan dia dalam letter of credit yang diterbitkan oleh Bank Century,” ujar Andi Arief.

Tak tanggung-tanggung, nilai LC bermasalah yang ditemukan Andi mencapai US$22,5 juta. Alat bukti itu berupa Akta Komisaris milik Misbakhun dengan kepemilikan sebanyak 99% pada PT Selalang Prima Internusa.

Menurut Andi, PT Selalang memiliki LC yang diterbitkan Bank Century pada 19 November 2007. Ia mengatakan bukti ini telah diklarifikasi pada Kementerian Hukum dan HAM. “Ini Asli,” kata mantan Komisaris PT Pos itu.

Misbakhun menilai negara telah membayar orang-orang yang tidak jelas kedudukannya termasuk Andi Arief. “Kekuasaan gampang jatuh jika dilingkupi orang-orang penjilat macam dia,” katanya.

Yang menarik, kasus Andi dan Misbakhun itu mencuat pada saat Presiden Yudhoyono tengah membangun dan menyusun kembali ”bangunan koalisi” pendukung dirinya dari ”reruntuhan” bekas bangunan sebelumnya. PKS adalah bagian dari koalisi istana, yang tengah menegakkan aqidah.

ketegangan PKS dengan kubu pihak istana serasa menjadi duri dalam daging koalisi. [ikl]

NB: draft yang tercecer, lupa diupload. Tulisan yang dimuat ketika menjadi reporter inilah.com sekitar 2008 atau 2009. Terlihat jelas tulisan yang pas-pasan.

 


Opini

27 February 2019

Apa itu Sofistri

Sofistri adalah ungkapan lama yang muncul di jaman Yunani, Sofistri berarti berpikir cepat tapi salah, atau bisa juga dikatakan kekacauan cara pikir. Dan ini sering dialami oleh penguasa atau intelektual ketika mengomentari keadaan.

Sebagai contoh paling aktual saat ini adalah ucapan Menkominfo di twitter yang berkata : “Terorisme tidak muncul karena situs-situs radikal”. Atau ucapan “Apabila Terorisme muncul dari situs Radikal, maka semua pembaca Blog adalah Teroris”.

Kekacauan cara berpikir ini memuat dua hal :

1. Pembelaan dia pada situs radikal seolah mematahkan dia sendiri punya logika. yaitu : Blog porno. Bagi dia blog porno adalah sumber dari segala perkosaan dan tindakan amoral yang menyimpangkan seks. Tapi situs radikal tidak dilihat sebagai situs yang berbahaya membuat orang berani melawan kemanusiaan, membunuh orang yang tidak tau apa-apa terhadap persoalan keyakinannya.

2. Dia melihat Internet sebagai hanya perkakas tanpa pengaruh, tapi dia sendiri tidak mengakui ini pada situs porno, dimana situs porno dianggap hal yang hidup dan meracuni pikiran orang, sementara situs radikal tidak meracuni pikiran banyak orang untuk melawan kemanusiaan dan membuat ancaman.

Bagi saya sungguh mengerikan Indonesia punya menteri semacam ini…………..

NB: Tulisan pada draft yang tercecer pada sekitar tahun 2009 atau 2010. Betapa aku kala itu wartawan swag kasar dan sok pintar.


Jeda

27 February 2019

Seorang yang sudah terpaut hatinya dengan Alloh STW, tidak akan mudah gusar dengan takdir apapun yang menimpanya. Baik itu ketetapan Alloh yang sesuai dengan keinginannya maupun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Semakin yakin kepada Alloh, akan semakin mantap menjalani hidup ini. Tidak akan terganggu dengan atribusi-atribusi dari orang lain.

Bukankah Alloh tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia? Hinaan, celaan, itu tidak membahayakan. Yang berbahaya itu kalau kita menghina, berteriak, mencela orang. Semuanya proses kehidupan yang…ya..biasa-biasa saja. Tidak perlu aneh. Manusia tak sopan  itu sudah ada sejak zaman Nabi.

Seburuk-buruknya kondisi kita selama sumbernya dari Alloh, bukan dari dosa-dosa kita, maka itulah sebaik-baiknya pemberian. Meski mungkin di mata orang lain tampak menyedihkan. Berapa banyak nikmat karuniaNya. Sepantasnya kita lebih takut tidak punya syukur daripada takut tidak punya nikmat dunia.

Lahawla wala quwwata illa billah. Hati yang menuhankan selain Alloh akan terus diliputi kecewa, sakit hati, jauh dari bahagia. Tapi bila menyandarkan segala urusan hanya kepada Alloh, tidak akan dikecewakan, karena Alloh lebih tahu apa yang terbaik untuk kita.


Berani-beraninya Dakwah

26 February 2019

Sungguh tidaklah mudah memutuskan naik panggung membicarakan soal agama di hadapan orang-orang sholeh tiga tahun silam. Sementara saya, si bodoh yang banyak cakap nan ceroboh, masih mengira ia nyasar di belantara antah berantah. Kejutan apalagi ini Alloh?

Inilah sekelumit deskripsi tentang apa yang saya rasakan saat terdampar di majelis taklim muslimah Jami’ul Amal. Serius, saya masih merasa tidak pantas ada di sana berbicara dengan pengeras suara, didengar bukan hanya hadirin, tapi juga warga sekampung membicarakan apa yang tak saya ketahui. Malu. Terlalu malu.

Tidak, tidak. Bukan saya seharusnya yang maju. Saya bukan santri, apalagi Bu Yai. Bukan pula orang berilmu tinggi. Tak elok pula mempertontonkan sesuatu yang berpotensi menjerumuskan orang. Ya, saya  menikmati presentasi, wawancara, pernah eksperimen menggambar, buat robot dari penjepit kertas, main band, sedikit tata boga, tapi tidak ahli soal agama.

Dan kenyataannya adalah tidak ada orang lain lagi yang bersedia. Bahkan, katanya, sebentar bicara di mikrofon saja agaknya lidah tiba-tiba kelu. Mengigil, demam panggung. Hanya Ibu saya yang tidak begitu. Dengan gigih beliau belajar sambil menyiarkan ilmu yang didapat di kajian-kajian antar kampung. Berbagai macam majelis didatangi. Guru-guru disambangi. Mamah yang kadang sakit kaki itu amat bersemangat. Menurutnya, ilmu tanpa amal adalah sia-sia. Ilmu pengetahuan itu tidak eksklusif, kita bisa mengajarkan kepada orang lain sekalipun kita belum benar-benar paham. Dengan mengajar, Alloh SWT menuntun kita menjadi lebih paham. Mengajar juga jihad dan sedekah. Yang tak akan putus ganjarannya walaupun kita mati. Alloh memberikan kesempatan kita berbuat kebaikan. Alloh berikan jalan dan cara membasuh dosa-dosa. Sementara orang-orang berlomba menuju kesempatan ampunanNya, belum tentu Alloh perkenankan. Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Dan ini kedua kalinya saya malu.

Dari sana jiwa kemanusiaan saya terpanggil. Inilah momentum bentuk penghambaan itu, selain sisi kepedulian. Tak ada relawan yang acungkan ttangan.Tak ada orang. Siapa lagi kalah bukan kita yang menolong agama Alloh? Peperangan ini antara saya dan nafsu. Bagaimana saya menebus rasa bersalah dengan sedikit tausiah, sekalipun usaha itu masih sangat kecil jika dibandingkan dosa-dosa yang tak terhingga. Saya butuh diampuni. Saya butuh didoakan banyak orang. Saya butuh Alloh.

Apalah yang harus dibanggakan dari seorang pendosa seperti saya. Hina. Satu-satunya alasan orang mau mendengarkan karena Alloh masih menutupi aib-aib saya di mata mereka.

Ketika hari itu tiba, menggigil, gemetar, keringat dingin, sudah melebur tiap kali akan menyampaikan materi. Siapalah aku ini? Hanya sekantung daging berdosa dengan kesoktahuanku. Bismillah. Hanya Engkau satu-satunya Penolong, ya Rabb.

Jika di dalam perbuatan saya ini tampak suatu kebaikan, maka semoga Alloh SWT menguatkannya dengan istiqomah dan tawaddu. Lahawla wala quwwata illa billah. Kemanapun manusia pergi, hendaknya ia menjadi pembelajar seumur hidup. Saya sedang berusaha ke sana. Dari ini semua, yang paling utama, mudahan-mudahan tulisan ini bebas dari ingin kelihatan sholeha. Aamiin.


Kaneron

14 February 2019

I’m a bit lucky! I came across a lady at the local market who produces the Kaneron bags (made from bamboo) with a hand. Now, this is my shopping bag.

Tapi di beberapa kondisi saya masih menggunakan wadah plastik. Belum pernah menemukan produk toilet dalam kemasan “ramah lingkungan” di Pelabuhan Ratu. Atau bubur ayam take away dalam mangkuk sterofom yang versi go green (daun pisang?).

I just think they’re one tiny aspect of a much much bigger issue and we as consumers don’t have much control over the biggest users of plastics food producers. That’s where the bigger focus should be if we have any hope of a making a difference.

Whatever and wherever we do, we make a mess. But trying to clean up our mess is surely a good thing, right?

Ini tas belanjaku, mana tas belanjamu?

Kaneron bag

Tas anyam Kaneron

FB_IMG_1550409271761

Kaneron tas anyam khas Jawa Barat


2.3

14 February 2019

Suatu sore di hari Selasa, hujan masih betah membasahi bumi.

Merebahkan bahu di pojok kursi sofa biru tua, kupandangi wadah plastik es krim yang sedari tadi tandas. Di hadapanku, ramai riuh rombongan keluarga dan gerombolan kesayangan mereka yang enerjetik lagi manja. Satu di antaranya yang mengacak-acak kursi pakai kaki, sementara lainnya sibuk menunjuk tiap gambar di dinding restoran menuntut penjelasan dari Ibunya. Khas anak-anak barangkali.

Dua puluh tiga menit berlalu dari pemandangan membosankan itu. Sementara di luar langit masih menumpahkan kegalauan separuh hari. Aku terdorong ke dalam ingatan absurd itu lagi. Sudahlah jangan meracau. Mari kita pulang, kawan. Suamiku pasti telat makan.


SRI

8 December 2018

Sejak bergabung di Facebook sepuluh tahun lalu, hari ini baru benar-benar aku nyaris patah arang dalam sebuah misi pencarian orang.

Entah setan mana yang membisiki kata “sudah, lelah jiwa, aku menyerah”, seraya mengibarkan bendera putih.

Sri. Ke mana minggatnya kamu sang teman sebangku di SD dulu? Seperti SD kita, SD 27 Dalil, kau pun rupanya hilang jejak. Tiarap. Dan parahnya aku tak ingat nama pangjang mu. Jangan tanya rumah di mana, anaknya siapa, jelas ku tak tahu!

Kau tahu, melihat dan membayangkan satu per satu ‘Sri’ di jagat Facebook adalah kutukan. Kutukan atas rasa bersalah ku yang dulu menindas mu, merebut bekal nasi goreng, dan mengata-ngatai mu. Betul, aku kecil sangat kurang ajar. Sementara kau diam, tak melawan.
Moga di antara kita tiada dendam.

22 tahun lalu di Bangka, masih ku ingat rapinya kuncir rambut mu yang kemerahan hasil terik matahari, sang anak wedok yang mandiri, tabah nan baik hati. Sriyanti anak paman petani yang sederhana tapi juga mulia.

Sri apa kabar mu? Seperti apa rupa mu kini? Masih ingatkah? Andai kau masih hidup, andai semesta merestui sekali lagi kita bertemu, daring pun tak mengapa untuk sepotong permintaan maaf yang dulu terlewat.

Sri, aku masih mencari. Dan entah ke mana nasib membawa.

Pelabuhanratu, malam Rabu Oktober 2018.

[Pesan terbuka]

DICARI:

SRI ATAU SRIYANTI YANG ALUMNI SDN 27 DALIL, BANGKA ANGKATAN 97/98. SUKU JAWA, ANAK PETANI SAWIT PT SUMARCO MAKMUN INDAH.

[Dari mantan teman sebangku mu yang berantakan]

#clasamate #sd27dalil #bangka #sriyanti


Sabar dalam Amal

8 December 2018

“Ulah barangbere wae, tong sieun disebut koret!” (Jangan sering ngasih, gak usah takut dibilang pelit)

“Teu butuh dibere, da lain jalma miskin!” (Gak butuh dikasih, bukan orang miskin)

Ada yang pernah?

Tidak perlu aneh (seharusnya) menemukan saudara kita dengan karakter di atas. Toh di jaman nabi sudah ada orang-orang yang bergitu ter..la..lu…

Memang dasar ya itu orang, sudah untung dibantu, dikasih enak, bukannya syukur malah sewot. Sombong banget itu orang, sok kaya, sok jaim, sok kuat, sok hebat…dst. Dasaaar tidak tahu terima kasih, gak tahu diri. Huh!

Mengkel ya? Kapok?

Itu tandanya kita masih manusia dan masih bernyawa di dunia ini, guys. Namanya juga dunia, penuh drama panggung sandiwara, begitu kata Om God Bless 😀

Banyak yang sukses ujian sabar dalam musibah, pun sabar dalam menghindari maksiat. Walau penuh dengan tetesan darah, cucuran peluh dan air mata, kita mah paling sabar pokoknya kalau tertimpa musibah apa saja, insya alloh deh tangguh. Dari mulai kesandung, sampai berkabung. Sabar tidak melakukan dosa, juga alhamdulillah sakses. Seperti menghentikan permanen aktivitas bajak-membajak lagu, film, disertasi, status, foto mantan (?) secara total, maupun istiqomah pensiun dari begal-membegal.

Tapi, sedikit kita sabar dalam taat. Terlalu fokus ingin orang mengapresiasi kita yang menurut diri sendiri prestisius. Butuh sekali pengakuan sosial supaya tenar. Dengan atau tanpa sadar.

Menyadari niat yang tulus ikhlas untuk bersedakah karena Rabb, itu adalah nikmat. Tugas selanjutnya, mempersiapkan mental supaya anti puja-puji maupun caci maki.

Mungkin engkau tak hiraukan sanjungan itu, tak ada lagi dada yang bergemuruh. Tetapi mengapa ketika dirinya antipati terhadap “kesholehanmu” kau tersinggung, kesumat di dalam dada.. Segampang itu tergoyahkan nafsu keakuan.

Sehasrat itu mendamba atribusi yang terlalu profan.

Jangan. Itu penyakit, guys. Amalan sia-sia, juga tak sehat buat lambung saudara. Sabar dalam taat jauh lebih berat. Jelas, hadiahnya surga. Justru bingung dari mana dapat pahala sabar kalau hidup serba mudah.

Sekali lagi, kita masih merantau di dunia guys. Kalau ada bisikan ingin merasa lebih anu dari orang lain, buru-buru ingat deh kita begini karena Alloh masih tutup aib kita di mata mereka.

Life is always biasa-biasa saja. Mau dipuji biasa, dicaci juga biasa saja. Tak ada bedanya.

Mengetahui dapat menghimpun syukur dan sabar dalam satu waktu adalah karunia. Sedekah bentuk syukur dan sabar. Sabar untuk tidak mengharapkan pujian maupun menghadapi celaan. Afdholul imani as shobru wassamakha (iman yang utama sabar dan memaafkan). La tahzan. Alloh bersama orang-orang yang sabar. Dan kreatif mengolah masalah.

Once told me, that us humans are like plain papers. But if you shape yourself right, you can make yourself fly, like paper planes.

Selamat berkreasi dalam perantauan ini, guys.

Wallohualam.

Dari penulis yang hina, insomnia dan belum tentu sabar pula. (Doakan ya) 😀

 

(Tulisan ini juga diunggah di blog kedua saya http://www.viniklima.blogspot.com)


Second Home

24 September 2013

Seperti halnya mengajukan KPR (Kredit Perumahan Rakyat), ‘membangun’ rumah kedua di dunia maya yang khusus menampung aspirasi saya di dapur dan sekitarnya pun perlu persiapan matang.

iPod 168

“Lemon and Friend”

Cita-cita saya yang lahir beberapa tahun lalu belum tercapai juga. Sepele sih, saya selalu gak pede. Padahal, bikin blog masak-memasak mungkin ga sehoror peperangan antara ManusiaVsZombie. 😦

Dan kali inipun saya beralasan menahan RAPBN (Rancangan Aspirasi Perdapuran dan Belanja Negara) karena nunggu genap umur 27 tahun (apa hubungannya? ga ada sih, namanya juga ngeles hehehe). Tapi, konon di umur kita yang gak tua-tua banget segitu, manusia berhenti nambah umur (ini kata oknum di PHG). Balik lagi ke pokok permasalahan, intinya ya begitu.. saya rasa upaya mempercepat bukan mempertakut *Vickynisasi*, pembangunan rumah ke dua itu perlu. Di samping menyalurkan energi berlebih, blog baru saya itu nanti secara mingguan diisi hal-hal yang ringan, gak mikir berat-berat. Semacam rumah yang menampung beragam aspirasi “pekan nafsu makan”.

Oh ya, untuk selanjutnya, saya akan kembali mengabarkan situasi terakhir dari lokasi kejadian. Demikian dapat saya laporkan, kini kembali ke studio.

-___-


Yuppies

1 August 2013

Yuppies (Young Urban Professionals)

Kaum Yuppies sependek yang saya ingat, mereka adalah broker saham, investments manager, akuntan, bankir, arsitek dan kelas menengah intelektual lainnya. Pada awalnya juga mereka memberontak sistem beku kapitalisme, mereka membangun struktur baru kapitalisme yang memberontak pada konglomerasi modal besar, kaum Yuppies ini kemudian menang pada tahun ’80an, yang dikenal sebagai dekade Free Liberalism, dekade Privatisme ala Thatcherian. (CMIIW).

Para intelektual progresif ini pelan-pelan menjadi kelas menengah yang mapan, kelas menengah yang kemudian berkompromi pada pemodal besar. Mereka semacam klik terbesar agen konglomerasi.

Kaum Yuppies membangun benteng neoliberalisme yang menjadikan mereka serdadu paling ganas dari sistem pasar bebas. Entahlah, saya sudahi luapan energi yang ngasal ini. :-s


Takhayul

1 August 2013
"The witch and The Dwarfs" - Basil seeds, chili

“The witch and The Dwarf” – Basil seeds, chili

“Ulah calik dina lawang panto bisi nongtot jodo.”

“Ulah mindeng mandi ti peuting bisi jadi parawan kolot.”

Pamali!

Pada bingung artiin bahasa itu? Tenang, saya kasih nih terjemahannya dari narasumber lumayan credible yaitu mantan Ketua Karang Taruna di desa yang sekarang hijrah ke Jakarta. FYI, sebagai orang Sunda dia nggak murtad-murtad amat dibandingin temen saya yang di PHG heheh (nanti saya ceritain di kesempatan yang lain).

Arti paribasa itu adalah:

“Jangan duduk di gerbang pintu, nanti susah jodoh.”

“Jangan sering mandi malem-malem, nanti jadi perawan tua.”

Sebagian kita pasti tidak asing dengan ragam seloroh yang bernada seolah-olah sakti itu. Bagi manusia-manusia yang dibesarkan di era keterbukaan informasi kekinian itu bisa jadi disebut pembodohan. Reaksi spontan anak muda yang wajar dari semangat penampikan massal. Mbuh..

Ibu saya dan ibunya seorang takhayul revolusioner. Saya ambil contoh diri sendiri, (maaf lagi-lagi narcissism detected), kalau lagi khilaf, kadang percaya-percaya aja. Mungkin di jaman nenek saya baheula, motivator ulung belum selihai Mario Teguh dalam merangkai kalimat Tuhan menjadi ear-catching sehingga kelihatan bijak, susah ditebak, misterius dan (semoga tidak) kagetan. Sebagai individu dewasa muda pecinta imajinasi, saya merasa perlu mengambil kenyamanan dan keamanan dari beberapa takhayul. Karena di beberapa situasi dan kondisi, ketidaksengajaan itu malah menjadi keberuntungan hahaha. Entahlah, saya hanya mencoba menyesuaikan.

Kalau perlu mengambil contoh agak jauhan ke Cina, misalnya, orang sana memanfaatkan takhayul untuk membalaskan dendam sejarah terhadap Jepang di bidang industri otomotif.

Orang Cina tidak mau beli mobil-mobil Jepang. Mayoritas orang di Beijing punya kebiasaan memasang foto Mao Tse-tung di depan mobil mereka agar mobilnya tidak tabrakan. Menurut mereka, malaikat maut takut sama gambar ketua Mao, gemetar dan akan lari terbirit-birit bila lihat gambar Mao.

Ini bukan kebodohan bagi bangsa Cina. Tapi ini sebuah terobosan budaya di mana rasionalitas komunisme dijadikan alat dasar untuk penghancuran takhayul bagi masyarakat walaupun kita membaca itu sebagai takhayul juga. Masa’ malaikat takut sama gambar manusia, sudah mati pula, ini sama takhayulnya kalau kita duduk di pintu maka bakal susah jodoh. Karena yang bener tuh ngalangin orang lewat woi! 😀


Tempe!

22 August 2012

“De, tempe langka dan sangat mahal!” demikian bunyi laporan setengah histeris dari si mimih.

Pemerintah ini maunya apa ya? Di tangan orang-orang berkuasa itu, pasar menjadi suatu yang hidup, tapi juga suatu yang bisa dipermainkan.

Krisis tempe ini mengingatkan saya saat spekulasi gejolak harga tumbuhan anthurium yang gak masuk akal beberapa waktu lalu. Inget gak Bos? Waktu itu harga menjadi sedemikian tinggi karena ada corong yang meneriak-neriakkan anthurium mahal, sampe ada orang jual rumah untuk investasi di anthurium. Ratusan juta untuk sebuah taneman ‘entah’ :-s

Lalu apa yang terjadi setelah beberapa lama? Harga anthurium jatuh se-ja-tuh-ja-tuh-nya (a la bang haji)..  Puncaknya, awal tahun 2000, saat di Nasdaq, AS heboh ihwal saham-saham dot com, saham-saham IT, Pokokna mah, semua perusahaan yang judulnya dot com, pasti akan naik ratusan kali lipat harga sahamnya. Semua dana tersalur ke sana.

Gak beberapa lama, kemudian pasar runtuh, begitu juga saat kehebohan saham batubara. Catetan lainnya juga, ketika saham-saham pertambangan yang sejak kenaikan harga minyak, banyak investor melakukan backdoor listing. Masuk ke sebuah perusahaan yang sahamnya tidur di market lalu perusahaan yang di-backdoor diubah menjadi saham pertambangan sehingga, harga naik tiba-tiba.

Dan kini tempe.. Amboi, tempe saja langka, pemirsa! Kacida.. sungguh ter-la-lu..

Cukup menggelitik atas kejadian luar biasa ini, artinya saya semakin ngeuh bahwa yang terjadi ini adalah arus informasi yang diledakkan sama dengan mempercayai pada kepanikan. Inilah jiwa dari zaman kiwari, gembar-gembor terhadap sesuatu tapi tidak menyelesaikan apapun (mungkin belum).

Yang jelas, ada tangan yang malah mengambil keuntungan dari kepanikan pasar. Bos, kalo menyitir Warren Buffet mah : “Yang mendapatkan keuntungan dari kepanikan itu adalah dokter yang tau ilmu jiwa”. So, artinya pasar menjadi sekumpulan orang gila yang kemudian dimanfaatkan. Oleh orang-orang yang sama gilanya. Ini menurut saya lho ya.. (ngomong apa sih vin?) :p

Jakarta, 26 Juli 2012 (lagi deadline)

Keterangan foto: Diambil dari google.com


Sie Jin Kwie : Sebuah Catatan Pinggir, pinggir..banget

2 April 2012

Sebelumnya, izinkan saya jujur, ini adalah tulisan bukan review tentang pementasan trilogi Sie Jin Kwie “Di Negri Sihir” yang baru berakhir tadi malam. Ini hanya sebuah upaya dalam rangka olahraga kecakapan menggerakkan jari-jemari tangan heheh..

Dulu, saat saya masih young and stupid, saya tidak pernah tahu soal efek samping terlalu kagum kepada hal-hal yang bersifat intelektual. Bagi orang dari daerah seperti saya, pengetahuan adalah mainan yang selalu menarik. Mulai dari yang formal di lembaga pendidikan maupun hal-hal ajaib seperti rumus bagaimana membuat capung dari permainan karet gelang :p

Singkatnya, anak kampung (tapi keren) ini, selalu ternganga dengan pemaparan berbasis teori-teori kedisiplinan ilmu (halah). Saat itu (young and stupid) saya pernah terjebak dalam kamuflase orang-orang yang sebenarnya tidak tahu.

Demikian juga anggapan saya terhadap sastra. Dalam imajinasi awam saya kala itu, sastra adalah ‘makhluk’ horor. Ia rumit, auranya bisa membuat engkau sembelit. Kalau menyimak karya sastra jenis apapun tidak boleh menampakkan gigi apalagi tertawa terbahak-bahak. Hah menegangkan! Begitu kira-kira.

Propaganda dari oknum yang senang tampil di media pun turut andil membuat saya semakin yakin kalau sastra itu ‘makanan berat’ bukan camilan. Ditambah spekulasi yang cenderung merusak kesenangan menikmati sastra. Saya turut prihatin… *ala Beye*

Yang lebih menyedihkan lagi, sastra sering tercemar ‘virus-virus’ snobisme. Bu Dewi Sri, guru saya bilang, di dalam membaca karya sastra, kejujuran itu perlu.

Salah satu hambatan untuk mendapatkan manfaat dan nilai sebesar-besarnya dari karya sastra adalah snobisme. Seorang snob itu orang yang beranggapan bahwa kemampuan menikmati karya sastra itu adalah suatu gengsi dan hak orang-orang terpelajar. Karena itu, walaupun tidak paham atau tidak suka kepada suatu karya, ia berpura-pura paham atau berpura-pura suka kepada karya itu. Kadang-kadang ia pun mengumbar pendapat dengan mengutip berbagai teori agar memberi kesan bahwa ia terpelajar. Ini sangat menggelikan tapi sekaligus menyedihkan. Sekali lagi, saya prihatin… *ala Bu Ani*

Celakanya, wartawan juga sering mendadak snob. Bukankah apresiator sejati harus menghindari itu?

Menikmati sastra katanya harus jujur, adil, langsung, bebas dan rahasia (lho...). Benar, memang perlu rileks, sikap menahan diri dari penilaian yang tergesa. Betul?

Nah, misalnya soal pementasan trilogi Sie Jin Kwie yang bagi seorang awam seperti saya, ia mampu merekonstruksi skema kesusastraan (widih).

Bagian yang paling menarik ada namanya Wayang Tavip. Untuk menyiasati durasi, muncul adegan yang dikemas berupa Wayang Tavip didalangi oleh seniman Bandung, M Tavip. Sumber karakternya dari Wayang Kulit Cina-Jawa karya Gan Thwan Sing. Itu jenis wayang yang mati di awal Orde Baru. Tepatnya pada 1966 dan 1967, saat kebudayaan Tionghoa Indonesia terhenti sama sekali setelah perubahan politik yang drastis. Perseteruan dan permusuhan politik membuat orang mendeskreditkan golongan masyarakat Tionghoa, mencurigai mereka sebagai kepanjangan tangan RRT. Kita memang tidak pernah ada musim dingin tapi, seni budaya Tionghoa Indonesia telah dibekukkan selama lebih dari 30 tahun. Di sini pun tidak mengenal musim rontok, namun seni budaya Tionghoa Indonesia telah rontok berguguran selama masa itu. (kok jadi sejarah ya?)

Kalau mau sedikit serius, Sie Jin Kwie bersama dengan Wayang Tavip ini merupakan bagian dari komunitas sastra khas yang melakukan hegemoni makna gerakan dalam proses masyarakat plural. Wayang Tavip dengan kemasannya yang khas membawa tradisi kelisanan bahwa menonton wayang tidak harus tegang seperti menonton wayang kulit cerita Ramayana semalam suntuk.

Para snob mungkin merasa aneh dengan gaya bahasa Sie Jin Kwie yang keluar pakem. Seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa karakter di Sie Jin Kwie menyisipkan cetusan populer (hits) yang relatif mudah dicerna seperti: “lebay“, “aqyu“, atau menyadur sederhana “penyakit bingung-bingung”, “setan biji kacang” dan lain-lain. Ini lebih baik daripada bahasa dalam permainan tipografi subjektif yang mengandung teka-teki membingungkan. Ya, karena sastra tanpa kebaruan (novelty) akan kehilangan energinya, kan?

Rasanya, membuka diri dan santai kepada karya sastra akan membawa imajinasi kita menuju tuntunan sastrawan, menjelajah dalam dunia imajinatifnya. Sastra yang sehat adalah sastra yang humanis, yang mempersilakan penikmatnya tertawa terbahak-bahak, bukan kram otot. Demikian. ;D

Jakarta, 1 April 2012

Keterangan foto : Diambil dari google.com


Binangkit

28 November 2011

Ibu saya pernah bilang, “Kedah jadi istri binangkit” (bahasa Sunda). Artinya-kurang lebih-jadi perempuan itu harus segala bisa (bekerja). Perempuan harus mandiri dan tidak tergantung kepada suami. Istri binangkit bukan hanya jago urusan domestik dan lipstik.

Tapi, sebagai perempuan dan istri yang menjaga kehormatan. Karena, sebaik-baiknya perempuan adalah yang menjaga kehormatan diri dan keluarganya. Tujuanlah, saya kira, yang menentukan keharusan perempuan bekerja.

~Kata kuncinya: membangun rumah tangga.

Namanya membangun, artinya aktif, bahu-membahu, saling mengisi. Baik istri-suami, atau siapapun yang tengah membangun, partisipasi amat diperlukan dalam bentuk apapun. Kontribusi kecil atau besar.

Tujuan yang realistis menentukan upaya. Dear istri-istri yang merasa biaya hidupnya spektakuler, jika subsidi dari suami kurang untuk biaya foya-foya Anda, ya bekerjalah. Gampang.

Tidak perlu mengeluh, lantas bersembunyi di balik tameng sumpah “kewajiban suami mencari nafkah”. Kesalahan terbesar memutuskan menikah karena nebeng hidup kepada pasangan. Menikah untuk ‘investasi’ jangka panjang. Menikah karena uangnya.

Menikah karena asumsi menggabungkan gaji dua orang supaya bisa hidup enak, keliru. Apalagi, cuma bisa menuntut tanpa bisa bekerja. Ayolah, di arena keras ini, siapapun haram mengeluh.

Dear perempuan, mengasihani diri sendiri itu membuat cemar. Polusi otak serta tabiat. Selama manusia hidup di sana selalu ada kepentingan. Dan masalah. Manusia bekerja untuk hidup dan kehidupan.

Perempuan mudah rapuh, jika paham bahwa Anda sudah lengkap sebagai individu.

Saling membangun hubungan. Tujuannya bukan saling melengkapi atau menyatukan perbedaan. Ibarat lingkaran, Anda dan orang lain adalah lingkaran utuh yang bertemu dan membentuk diagram venn.

Begitupun suami-istri yang walau berbenturan tetap bisa tambal-sulam. Menerima kondisi lebh arif dan saling memberi energi positif. Barangkali, esensi menikah bukan saling melengkapi. Tapi, membangun hubungan rumah tangga.

Lebih bahagia dan damai dalam hidup dengan merasa cukup.


Mbuh…

17 September 2011

Masih ada. .

Saya kira saya sudah menghilang. Jauh ke sebuah wilayah entah. Yang di dalamnya tak ada keberlimpahan gelisah. Hanya saya dan desir angin yang menimpuk daun kuping.

Berbulan-bulan, bertahun-tahun saya mungkin dapat menghilang. Jauh. Karena secuil takut.

Takut yang amat merenggut kehangatan yang selama ini disekap rapat-rapat. Takut akan keniscayaan adalah konyol. Takut adalah batas.

Sekiranya saya hilang karena takut, anggap sebuah marka batas. Dan terlelap. Mengendap.

Jakarta, 8 Juli 2011

Keterangan foto: Sketsa dibuat oleh penulis


Freedom to The Press

24 February 2011

Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan demokrasi terpimpin (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin.

Sampai pada rezim Presiden Soeharto memperkenalkan demokrasi pancasila (1970) – yang hakikatnya “sami mawon” dengan demokrasi terpimpin, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.

Namun, belakangan pers sendiri kurang memahami makna kebebasan pers sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan-yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu-tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya.

Data Dewan Pers 2010 sekitar 500 aduan dari masyarakat di antaranya 66 kasus terjadi karena ketidakprofesionalan wartawan. Meski demikian, berdasarkan data lainnya, Dewan Pers menerima masukan tentang pentingnya regulasi yang jelas perihal keselamatan wartawan.

Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat-dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri-bentrok antarumat beragama di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan kerusuhan di Temanggung, misalnya.

Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya. Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas.

Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi, radio dan citizen journalism yang kemudian disebut online media. “Citizen journalism lebih berani mengkritik pemerintah, dan mereka Ketua Dewan Pers bidang Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika, Agus Sudibyo.

Ya, media massa telah menjamur. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas. tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.

Lantas, munculah istilah “kebablasan pers” “over dosis” atau sindiran pedas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pers yang “memelintir” dan “terlalu kreatif”. Kritika apriori terebut muncul karena generalisasi pers, padahal tidak semua demikian buruk.

Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak).

Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.

Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka.

“Memang, ada yang over dosis, tapi media yang mana? Presiden ke media atau sebaliknya, juga harus menghindari penilaian yang apriori,” kata Agus. Menurutnya, kebebasan mengkritik model apriori itu membuat iklim dekomkrasi yang tidak sehat. Pers sekarang semakin bebas, lebih bebas dari tahun-tahun sebelumnya. Represi yang dialami oleh media justru bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk ekonomi, misalnya represi dari pemilik media dan pemasang iklan.

Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal), melainkan semata-mata sebagai komoditi.

Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers).

Kesejahteraan Wartawan

Kerbebasan pers yang bertanggungjawab tercermin dari wartawannya itu sendiri. The nose of news, seorang wartawan harus memiliki kemampuan mengendus jenis berita-sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita).

“Ada juga wartawan yang “kesasar”. Saya kira sama seperti profesi yang lain, banyak yang disalahgunakan. Yang main-main dengan saham juga ada. Makanya ada yang bilang, kalau mau kaya jangan jadi wartawan deh,” cetus wartawan senior Budiarto Sambasi.

Lepas dari apakah mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Tapi,
Tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik, tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme, termasuk trik-trik dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).

“Harapan saya agar perusahaan media lebih memperhatikan kesejahteraan wartawan karena saat ini, tidak banyak perusahaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup wartawan,” komentar wartawan majalah Hendri Firzani. Sebab, dengan meningkatnya kesejahteraan wartawan, maka ia juga dapat bekerja dengan lebih baik lagi.

Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan politik. Ketika itulah pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Hakikat kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan”. Hak kebebasan itu kini masih sebuah perjuangan.

Keterangan foto: Koleksi penulis


Problem Rejeksi Hati Setelah Operasi

27 January 2011

Dalam transplantasi liver, kemungkinan rejeksi (penolakan) hati baru hanya 1,6 persen. Namun, pasca operasi dokter harus terus memantau perkembangan kondisi pasien secara ketat untuk mengantisipasi risiko infeksi dan gangguang organ lain.

Seorang pasien yang menjalani transplantasi, tubuhnya akan mengenal hati yang baru bukan sebagai hati sendiri. Tubuh secara alami berusaha menyingkirkan atau menolak hati baru tersebut. Pasien tersebut akan diberi obat untuk mencegah penolakan.

Sekitar 60 persen rejeksi ringan terjadi pasca operasi. Dalam kasus penolakan yang fatal jarang terjadi. Menurut dokter Tjhang, pada prinsipnya rejeksi ada dua macam, yaitu pertama, tubuh pasien yang tidak menerima organ hati dari orang lain, dan kedua, organ hati pendonor yang menolak tubuh si pasien.

“Kalau kategori yang kedua itu yang berat, kalau terjadi penolakan seperti itu tamatlah riwayat,” kata dokter Tjhang. Sedangkan golongan reksi pertama relatif dapat diatasi dengan obat-obatan antirejeksi.

Rejeksi memang biasa terjadi dalam tiap operasi transplantasi organ. Tetapi, Tjhang mengungkapkan, risiko kematian akibat rejeksi hati tingkat tinggi hanya 1,6 persen.

“Karena satu jam sebelum ke meja operasi, pasien sudah minum satu kapsul obat antirejeksi,” imbuhnya. Setelah operasi dosis pemberian obat Soebagijo dan Nidtjat misalnya, masing-masing tentu berbeda.

Tjhang yang menangani Soebagijo dan Nidjat sudah sangat paham takaran formula keduanya. Selama proses perawatan, dokter memang tidak dapat mengendalikan hal-hal yang kemungkinan terjadi. Bukan kesalahan, tetapi itu bagian dari risiko.

“Pasien harus patuh untuk kontrol, sehingga kalau ada sesuatu bisa kita ketahui lebih dini dan segera melakukan koreksi,” kata Tjhang. Meskipun dengan obat anti-penolakan (immunosuppressants), masih banyak pasien mengalami setidaknya satu episode penolakan, sementara mereka masih dalam masa penyembuhan dari operasi.

Episode tersebut dapat terjadi setiap saat, tetapi yang paling sering selama enam bulan pertama setelah pembedahan. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda penolakan, termasuk kelelahan, atau suhu yang lebih besar dari 101 derajat F (38,3 derajat C).
Tanda lain hanya dapat diukur dengan tes darah rutin, termasuk nyeri di hati dan peningkatan kadar fungsi hati. Adanya salah satu tanda-tanda ini tidak selalu terjadi penolakan.

Thjang menjelaskan, secara teknis bila diduga terjadi penolakan, resipien akan menjalani biopsi hati untuk konfirmasi terjadinya penolakan. Penolakan dapat ringan sampai serius. Jika dokter menentukan bahwa tubuh menolak hati baru, obat perlu diubah.

Sementara itu, risiko kemungkinan infeksi setelah transplantasi hati. Infeksi merupakan ancaman bagi setiap pasien cangkok hati. Pemberian immuno supresan mencegah terjadinya penolakan hati baru, tapi obat tersebut menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.

Sitomegalovirus (CMV) merupakan salah satu virus yang sering menyebabkan infeksi. Infeksi ini dapat menyebabkan penyakit seperti flu atau bahkan tanpa gejala.

“Infeksi dapat dicegah dengan selalu mencuci tangan setiap kali masuk dan meninggalkan ruangan perawatan dan memastikan bahwa pengunjung dan profesional perawatan kesehatan melakukan hal yang sama,” papar Thjang. Mencuci tangan adalah cara paling efektif untuk mencegah penyebaran infeksi.

Paru-paru adalah organ paling rentan terganggu akibat transplantasi. Dua hal yang dapat menyebabkan paru-paru kolaps (atelektasis) yaitu akibat obat yang digunakan untuk membantu anak tidur selama operasi, dan periode panjang bed rest setelah operasi.

Ginjal pasien juga menjadi perhatian tim dokter. Beberapa pasien mengalami masalah ginjal setelah pembedahan. Kondisi ini biasanya reversibel. Pada kasus yang jarang, hemodialisis diperlukan sampai ginjal mulai bekerja kembali.

Beberapa pasien memiliki masalah dengan saluran empedu dan harus dilakukan drainase dan tes yang dilakukan untuk memastikan saluran empedu bekerja dengan benar. Empedu tak luput dari pengawasan dokter.

Ketika hati akan diangkat dari donor, ia ditempatkan dalam es. Meskipun perawatan dan pencegahan telah dilakukan sebelum transplantasi, ada saat-saat ketika hati baru tidak “bangun” setelah operasi. Hal ini disebut non-fungsi primer. Jika ini terjadi, pasien perlu segera ditransplantasikan.

Selain itu, perdarahan merupakan komplikasi pasca operasi umum yang terjadi pada setiap pembedahan apapun. Kadang-kadang diperlukan operasi tambahan untuk menghentikan pendarahan berat. Tapi, ini dapat dicegah oleh dokter ahli bedah yang sudah berpengalaman.

Keterangan foto: Diambil dari google.com


Siapa Mau Donor Hidup Cangkok Hati?

27 January 2011

Keberhasilan operasi cangkok hati (transplantasi hati) dengan melibatkan donor hidup (living donor) berpeluang lebih besar menyelamatkan pasien 80 hingga 90 persen. Namun, di Indonesia donor hidup cangkok hati masih sulit dicari karena berbagai kondisi.

Sejak dilakukan di Tiongkok pada 1989, cangkok hati dengan donor hidup berhasil cukup baik. Beberapa rumah sakit di Indonesia mulai mengadopsi skill dan pengetahuan dari rumah sakit asing yang lebih berpengalaman.

Sebetulnya, tidak perlu terbang ke Singapura atau China untuk mengganti hati. Toh di Indonesia, kini sudah menyediakan layanan pencangkokan hati sejak 2006. Masalahnya, donor hati di Indonesia masih menjadi kendala besar bagi pasien sirosis (pengerasan hati) dan hepatoma (kanker hati) yang ingin transplantasi organ.

Menurut dokter ahli bedah transplantasi hati Rumah Sakit Puri Indah Hermansyur Kartowisastro Sp B (KBD), mendapatkan donor hidup cangkok hati tidaklah mudah seperti organ ginjal. Ketakutan mendonorkan hati itu wajar. “Orang bisa hidup dengan satu ginjal, tetapi hati? Hati cuma ada satu, tidak dapat diberikan utuh kepada orang lain,” kata dr. Herman begitu ia disapa.

Pada 2006, dokter Indonesia pernah melakukan operasi cangkok hati pertama dengan donor hidup. Pasien adalah bayi yang mendapatkan 20 persen donor hati dari sang ibu. Operasi berhasil, namun bayi tak dapat melewati masa-masa kritis hingga akhirnya meninggal.

Tahun 2008, kedokteran Indonesia juga mencatat pasien dewasa pertama yang menjalani operasi cangkok hati tidak dapat bertahan hidup karena efek komplikasi organ paru-paru. Tiga hari post operasi pasien meninggal dunia.

Tentu kejadian itu menjadi catatan medis sekaligus motivasi tim dokter Indonesia berhasil mencangkok hati dua pasien di rumah sakit dalam negeri. Tim dokter dari Rumah Sakit Puri Indah, RSCM, dan Fakultas Kedokteran UI bekerjasama dengan The First Affiliated Hospital Zhejiang University, China, berhasil menyelesaikan dua operasi cangkok hati dengan donor hidup.

Tim antara lain beranggotakan dokter bedah digestive, dokter bedah
vaskuler, dokter hepatologi penyakit dalam, dan dokter gastroenterologi penyakit dalam. Tim juga dilengkapi dengan dokter PICU, dokter anestesi dan intensif care, dokter radiologi, dokter ahli patologi anatomi, dokter ahli patologi klinis, dokter farmakologgi, dokter spesialis kejiwaan, dan dokter gizi klinis serta perawat.

Selama ini kita mengenal donor cadaveric, yaitu donor organ dari orang yang sudah meninggal. “Bukan mayat. Secara fungsi otak ia sudah meninggal, tetapi darahnya masih mengalir,” ujar Herman.

Pencangkokan hati adalah jalan terakhir yang tentu saja diputuskan si pasien. Pihak keluarga pasienlah yang bertugas mencari pendonor hati misalnya, dari anggota keluarga sendiri, atau orang lain. Herman mengatakan, rumah sakit wajib menjaga identitas pendonor atas permintaan keluarga.

Banyak kasus pasien penderita penyakit hati terlalu lama menunggu donor yang mau, hingga dalam perjalanannya penyakit menjalar semakin parah, mula-mula hepatitis B/C, sirosis, lalu kanker hati. Di Amerika, China, dan Jepang misalnya, sudah mengembangkan cangkok hati dengan donor hidup.

Herman yang juga ketua tim dokter transplantasi hati mengatakan, kebutuhan donor hati di Indonesia sangat tinggi, sedangkan permintaan kian banyak. Padahal, meski operasi bersamaan, keselamatan pasien dan pendonor tetap menjadi prioritas.

Hati pendonor diambil sebagian  dan didonorkan pada yang sakit. Sementara si penerima donor, pengangkatkan organ hati harus seluruhnya karena sudah tidak berfungsi dengan baik. Untuk itu operasi pengangkatan hati dari pendonor dengan penerima hati juga harus dilakukan bersamaan dalam waktu sama.

“Hati pendonor akan tumbuh dalam waktu 6 bulan sekitar 60-80 persen, dan kembali ke ukuran semula dalam 1 tahun,” tuturnya. Itulah sebabnya, transplantasi hati di Indonesia terhambat.

Pengetahuan, pengalaman, dan peralatan masih bisa dibeli sekalipun dengan harga selangit. Tetapi, sukar menemukan donor hidup organ hati. “Donor dari anggota keluargapun belum tentu cocok, kalau diameter hati pasien 8 cm, harus dicari donor yang sama,” kata Herman.

Mereka Sukses Mengganti Hati

Adalah Subagijo dan Nidjat Ibrahim, pasien hepatoma dan sirosis tingkat akhir yang berhasil menjalani operasi cangkok hati di RS Puri Indah itu. Satu bulan lebih pasca operasi besar itu, kondisi mereka kini 100 persen sehat.

Subagijo melakukan operasi pada 14 Desember 2010, sementara Nidjat pada 17 Desember 2010. Porses opreasi keduanya memakan waktu yang sama yakni 13 jam.

“Kedua pasien transplantasi hati ini sudah 100 persen sehat. Jika
dilakukan check up 100 lolos,” kata dr. Tjhang Supardjo, MD, MSurg, FCCS, anggota tim transplantasi hati RS Puri Indah. Sebenarnya ada pengobatan lain hepatoma seperti operasi (potong tumor), intervensi (memasukkan obat ke tumor) atau ablasi (membakar jaringan tumor secara lokal) guna mencegah penyebaran penyakit.

Kondisi keduanya sudah sangat parah dan tidak bisa ditolong dengan pengobatan lain. “Sirosis yang diderita sudah dalam kondisi parah, dan ibu Nidjat kondisinya bahkan sudah terkapar, perut buncit, dan kesadarannya makin menurun,” kata dokter lulusan hepato-pancreo-bilier di Zhejiang Hospital, China.

Bagi Subagijo sejak divonis dokter mengidap hepatoma tahun 1984, ia tak pernah berhenti ingin sembuh. Hanya dua minggu pasca operasi cangkok hati, ia merasa hidup kembali.

“Tak ada masalah, pesan saya jangan jauh-jauh ke luar negeri cari dokter bagus, di sini (Indonesia) saja,” ungkap wiraswasta asal Surabaya ini. Demikan pula Nidjat, semangatnya tak lekas pupus untuk bebas dari sakit sirosis sejak 2001.

Berbagai cara sudah ia tempuh, termasuk bolak-balik ke luar negeri selama 10 tahun tanpa hasil. RS Penang, Singapura, sampai pengobatan secara herbal di Purwakarta sudah ia jajal. “Saya nggak kuat dengan herbal cuma dua minggu, makan buah sayur terus,” kata dosen tetap Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti ini.

Ketika dokter Tjang, yang juga satu almamater Trisakti, menawarkan program kerjasama Indonesia dan China dalam operasi cangkok hati, Nidjat langsung mengamini. “Pokoknya semangat ingin sembuh. Karena itu sangat memicu kita. Jangan mikir nanti biaya bagaimana, karena itu bisa dicari,” pesannya.

Soal biaya, bisa dibayangkan, operasi transplantasi organ di Indonesia menghabiskan dana sekitar 1 milyar rupiah. Di RS Puri Indah, biaya itu sudah termasuk perawatan selama satu bulan. Tidak termasuk kontrol dan perawatan berkala.

“Pada prinsipnya, kita pilih apapun yang terbaik untuk pasien. Kita cari titik mana saja bisa ada penghematan,” kata Direktur RS Puri Indah Yanwar Hadiyanto. Kendati dikelola swasta, RS Puri Indah tetap mengusahakan biaya di bawah 1 milyar dengan kualitas sama.

“Benefit buat kami adalah jam terbang,” ungkapnya. Justru, bila operasi cangkok hati di RS Penang, Singapura, habis biaya 3-4 milyar rupiah. Dua kali lipat dari harga di RS dalam negeri.

“The earliest is better,” saran Yanwar. Semakin cepat pasien mendeteksi suatu penyakit, maka ongkos pengobatan akan relatif murah. Pencegahan memang selalu lebih baik. Tetapi siapa mau kejatuhan penyakit, atau malah jadi sakit akibat mendonorkan sebagian organ kepada orang lain?

Keterangan foto: Diambil dari google.com


Pemfeodalan Bahasa

15 January 2011

Kecenderungan ‘pemfeodalan’ bahasa Indonesia tampak dalam bahasa sehari-hari. Kata-kata biasa diganti dengan kata lain yang dianggap lebih halus, lebih bersifat menghormat. Kebiasaan berbahasa seperti itu tampak dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.

Ada yang disebut bahasa halus, setengah halus, dan ada pula bahasa kasar. Jika seseorang akan bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya, kedudukan sosial di masyarakat, ia harus menggunakan bahasa yang halus yang menggunakan kata-kata khusus. Kalau perlu ‘latah’ menggunakan bahasa kontesktual tinggi tanpa tahu arti makna sebenarnya.

Kebiasaan ini ‘menular’ ke dalam bahasa Indonesia. Inilah bentuk memfeodalkan bahasa Indonesia karena kebiasaan tersebut itu adalah kebiasaan dalam masyarakat feodal.

Umpamanya, kata ‘saya’ dalam bahasa Indonesia bukanlah kata asli. Kata itu dipungut dari bahasa Sanskerta (CMIIW) ‘sahaya’ yang sama artinya dengan ‘budak’ atau ‘hamba’. Kata ini digunakan mengganti kata ‘aku’. Bila kita berbicara dengan orang yang lebih tua, yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, dengan atasan kita, kata ‘aku’ untuk menyapa diri sendiri terasa kurang atau tidak hormat.

Karena itulah, kita gunakan kata ‘saya’. Sebaliknya, jika kita berbicara dengan orang yang sederajat atau lebih rendah kedudukan sosialnya, atau yang lebih muda usianya, kata ‘aku’ tidak kasar. Malah dengan orang yang dekat, menggunakan kata ‘aku’ terasa akrab, intim.

Namun, ada kejadian lain, kata ‘saya’ yang berarti ‘budak’ atau ‘hamba’ itu sudah dianggap kurang halus. Maka, ada yang mengganti kata ‘saya’ jadi kata ‘kami’. Orang menggunakan kata ‘kami’ dalam bertutur dengan orang yang dihormatinya, seperti dengan presiden, karena ia menganggap kata ‘kami’ lebih halus daripada ‘saya’. Benarkah?

‘Kami’ menunjukkan kepada diri orang pertama jamak. Kata kami digunakan oleh yang bertutur bila yang dimaksudnya dirinya sendiri bersama-sama dengan orang yang diwakilinya. Sama dengan kata ‘we’ dalam bahasa Inggris, atau kata ‘wij’ dalam bahasa Belanda.

Tapi, tak ada orang yang berbahasa Inggris yang menggunakan kata ‘we’ untuk menyebut dirinya sendiri. Orang Belanda juga tidak menggunakan kata ‘wij’ untuk menunjuk dirinya sendiri.

Mengapa sekarang orang Indonesia seenaknya mengganti kata ‘saya’ dengan ‘kami’? Atau karena makna kata ‘saya’ yang sebenarnya tidak lagi diketahui oleh orang Indonesia sehingga dia tak tahu bahwa kata itu berarti ‘budak’? Apa yang lebih rendah daripada budak?


Bila Ilmuwan Betah di Negeri Orang

10 January 2011

Ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan sumbangsih terbesar dalam pendapatan negara. Penemuan-penemuan tersebut berasal dari otak-otak super para cendekia. Namun, bagaimana jika ilmuwan Indonesia malah lebih betah tinggal di negeri orang?

Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) mencatat sekitar 2.000 ilmuwan Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sebanyak 850 dari jumlah yang ada telah terkumpul data base-nya.

Sekretaris Jenderal I4 Achmad Aditya mengungkapkan kebanyakan para ilmuwan tersebar di benua Eropa dan Amerika bertahun-tahun sejak kuliah dan bekerja di suatu lembaga atau secara mandiri. Mereka mengajar, melakukan riset, dan mengembangkan ilmu pengetahuan lainnya di negeri orang.

Dalam International Summit 2010 Ikatan Ilmuwan Indonesia International (I4) pada 16-18 Desember di Kementerian Pendidikan Nasional akhirnya merumuskan beberapa hal. Para cendekiawan mengupayakan perbaikan kultur riset guna mendukung pembangunan bangsa dan negara sendiri.

Sebab, sejak berdiri Oktober 2009 lalu, I4 tetap berkomitmen untuk menjadi media jaringan diskusi para ilmuwan baik lokal maupun internasional. Dalam pertemuan tahun ini misalnya, ilmuwan yang terkumpul akan dibagi menjadi sebelas kluster, beberapa diantaranya adalah kedokteran dan bioteknologi, energi, rekayasa industri dan robotika, ilmu pengetahuan dan teknologi serta informatika dan elektronika.

“Pengklusteran ini agar memudahkan mereka untuk merumuskan program-program sesuai bidangnya secara otonom,” ujar Ketua panitia I4 ini. Respon pemerintah cukup baik dalam mendukung kegiatan ini.

Sebab, I4 menganggap pendidikan Indonesia sebenarnya tak kalah berkualitas dengan negara-negara asing apabila potensi para intelektual itu dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih besar. Yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Saya kira ini bukan soal materi (uang), tetapi soal penghargaan,” imbuhnya. Malah, ada ilmuwan internasional yang rela terbang pulang kampung dengan ongkos pribadi.

Lantas mengapa mereka enggan pulang kampung dan membangun Indonesia? Aditya menjawab: “Mereka punya alasan pribadi yang berbeda-beda mengapa berkiprah di luar negeri, tidak di tanah air,” katanya.

Sejauh ini peran ilmuwan di Indonesia hanya sebatas di wilayah pendidikan, mengajar di kampus umpamanya. Tetapi, masih kurang ilmuwan yang bekerjasama dengan pelaku bisnis. “Ilmuwan bisa bermanfaat, dan pelaku bisnis perusahaan-perusahaan besar itu memperoleh temuan baru yang menguntungkan,” papar Aditya.

Sementara itu, Nelson Tansu, salah satu ilmuwan Indonesia internasional yang berkarya di Lehigh University, AS, kultur riset sangat penting dewasa ini. Diantaranya, memaksimalkan potensi yang ada sehingga universitas di Indonesia bisa bersaing dengan lembaga pendidikan asing.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kerjasama tersebut memungkinkan para ilmuwan untuk melakukan kerjasama riset, pendampingan, sharing fasilitas dan beasiswa. Kerjasama dapat saling menguntungkan pihak-pihak terkait, yakni pemerintah dan produsen (perusahaan).

Minimnya anggaran juga muncul karena perhatian pemerintah terhadap Iptek masih rendah sehingga seperti telah dikemukakan di atas kegiatan riset tidak bisa dilaksanakan secara optimal.

Di lain pihak, kalangan industri pun belum akrab dengan hasil inovasi dalam negeri karena mereka lebih memilih hasil rekayasa luar negeri yang begitu cepat menghasilkan teknologi baru.

Kendati demikian, Rektor Universitas Paramadina punya pandangan lain tentang ilmuwan lokal yang ‘hijrah’ ke luar negeri. Ia mengatakan, banyaknya ilmuwan Indonesia di berbagai negara justru memberikan banyak keuntungan.

“Jangan sebut tidak nasionalis, mereka secara tak langsung adalah duta-duta bangsa yang bisa memengaruhi dunia,” cetus Anies. Nasionalisme tidak diukur dari keberadaan seseorang di dalam negeri. Nasionalisme itu ada di jiwa.

Lagipula para ilmuwan sangat membanggakan negara dalam persaingan dunia internasional. Mereka bisa sangat menguasai ilmu yang ditekuninya, membangun jaringan dengan ilmuwan internasional, menguasai berbagai bahasa asing, serta memiliki modal.

Indonesia juga memiliki calon-calon ilmuwan 55 ribu mahasiswa Indonesia di berbagai negara yang sedang menuntut ilmu mulai dari program sarjana hingga doktor di berbagai bidang. Jumlah mahasiswa Indonesia di luar negeri ini diharapkan bisa mencapai 200 ribu orang dalam beberapa tahun mendatang.

Menurut I4, harus ada sebuah langkah untuk mengembangkan kemitraan antara pemerintah, dunia swasta, dan dunia internasional. Inovasi memang kunci kemajuan teknologi dan industri.

Belajar dari kasus kemajuan teknologi dan industri di Jepang, India, dan China, keduanya ternyata saling berkait dan saling membutuhkan. “Karena itu (kemajuan Iptek) akan lebih baik lagi bila untuk merangsang inovasi,” ujar Anies.

Lagipula, lanjutnya, pemerintah juga melakukan langkah yang sama di bidang industri, yakni dengan memberi insentif cukup besar bagi industri yang memakai hasil inovasi dalam negeri, serta mengembangkan risetnya.

Oleh karena itu, hasil pertemuan tahunan I4 lebih detil menjelaskan tentang usulan, rekomendasi, dan rencana aksi untuk memperbaiki kondisi Indonesia. Program yang dicanangkan para ilmuwan itu tentu sangat membutuhkan kerjasama dan dukungan dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian-kementerian sesuai masing-masing kluster.

Salah satu aksi jangka pendek yang akan dilakukan antara lain berupa pembuatan basis data ilmuwan Indonesia di luar negeri, menyelenggarakan berbagai lokakarya terkait penulisan jurnal ilmiah, metodologi penelitian, dan etika penulisan. Selanjutnya, menjembatani peneliti Indonesia untuk meneliti atau mendapatkan beasiswa di luar negeri.

Menurut aturan pemerintah, para penerima beasiswa harus berbakti di Indonesia minimal 2n+1. Artinya, kalau lama pendidikan lima tahun, ia mesti menebus dulu utangnya selama serbelas tahun.

Atau ia harus mengganti sebanyak dua kali dari nilai beasiswa yang diterimanya. Meski I4 menampik punya misi membujuk ilmuwan internasional pulang kampung, tetapi Jika fenomena ilmuwan hijrah (brain drain) ini dibiarkan, harus berapa banyak lagi talent-talent Indonesia ‘dibajak’ negeri orang?