Little Tiny Disturbance

6 August 2013
20130920-130210.jpg

“Tanpa Nama” – Paperclip

Energi saya malam ini sepertinya sedikit liar, gak tahu, mungkin salah nelen makanan ringan. Tapi tenang, ini bukan mau curhat cinta-cintaan. Di samping eike ga lihei, pun saya cukup tahu diri untuk tidak membuat kalian muntah-muntah hihih.

Baiklah saya mulai menyusun kalimat pengantar menuju objek penelitian (kayak skripsi).

Beberapa pekan lalu, anak desa ini lagi gandrung merangkai paperclip alias penjepit kertas yang bagi abege era ’90an adalah keren benda imut berwarna ngejreng itu nangkring selusin di krah baju sekolah. Mungkin saya titisan mereka..

Paperclip berbagai ukuran, bentuk, dan warna itu, singkatnya dengan amat mudah saya dapatkan di toko buku tanpa satu kendala yang berarti. Tak lupa hardware palu, gegep, dan tang amatir pun saya temukan di pojok toko ATK Plaza Indonesia tanpa rintangan yang menghadang. Ini contoh kemerosotan pencapaian seorang backpacker. Jangan ditiru ya!

Kemudian saya merangkai beberapa bentuk yang sebenarnya tak berbentuk-bentuk amat, dari Si penjepit kertas itu. Ada yang konon mirip serangga, cumi-cumi, laba-laba, dan robotrobotan. Semuanya kawe.

"Bugs" - Paperclip

“Stanley” – Paperclip

"Spidtopus" - Paperclip

“Spidtopus” – Paperclip

"Marley" - Paperclip

“Marley” – Paperclip

"Tanpa Nama" - Paperclip

“Tanpa Nama” – Paperclip

"Siapadia" - Paperclip

“Siapadia” – Paperclip

Rada emeizing norak sih ketika benda-benda asing itu lahir dari karya tangan saya sendiri. Jarang-jarang iseng sampe merambah ke dunia pertukangan.

Tapi, saya mencurigai diri sendiri, jangan-jangan kalakuan saya ini gara-gara habis nonton film Pasific Rim. Saya anggap kalian ngeuh dan hapal dengan ikon rada ngehits yang satu itu. Populer di masanya, masa kejayaan kekinian (konon) yang serba ‘matic’. Mbuhlah..

Semua mungkin sepakat kalau secara visual film itu lumayan, meski ada kurang-kurang soal cerita yang cengeng mah ya masih bisa dimaafkan. Lagian siapa saya berhak menghakimi karya orang yang bukan kapasitas saya sebagai manusia baru nongol kemarin sore?heheh.

Yang ngeselin-yang saya ingat-adalah nama sang robot superhero bernama Striker Eureka. Namanya kayak mbak-mbak kekasih sensei saya di kelas les bahasa. Si Eureka alias Si Striker inilah yang bikin saya tidak tidur selama pertunjukan berlangsung. Bukannya saya berpaling hati dari Si Gipsy sebagai lakon utamanya. Tapi Eureka membuat saya terjebak mikir yang berat-berat. :-s

Striker mengingatkan saya pada Yoshihiro Francis Fukuyama ketika dalam perenungannya melonjak dari kursi dan berteriak “Eureka!”, lalu mengumumkan pada dunia soal kapitalisme-liberal sebuah The End of History.

Fukuyama ‘menyaksikan’ tembok Berlin runtuh, Soviet berantakan, dan kapitalisme mendunia. Ia yakin telah menemukan ruang akhir sejarah seperti halnya Karl Popper saat menegaskan masyarakat terbuka (open society) yang diikuti oleh murid fanatiknya George Soros bahwa dunia telah menemukan kisah akhir proses sejarah, kapitalisme liberal adalah sebuah ideologi alternatif hanyalah impian kosong.

Mungkin ini yang disebut sebuah kondisi di mana sosialisme sudah punah, ideologi alternatif tamat.

Pada titik inilah Fukuyama mencapai tahapan fatalistik dalam menemukan kebenaran filsafatnya. Dengan abrakadabra dia menghentikan laju sejarah, melemparkannya ke ruang bejana yang vakum, lalu meninggalkan laboratorium sembari tertawa merasa sudah menemukan inti kebenaran.

Seandainya Fukuyama boleh saya terjemahkan, mungkin caranya itu merupakan upaya melatih pikiran manusia sampai pada titik nol, sampai pada ruang bebas tanpa prasangka,

Sebab, katanya, setelah mencapai titik itu seseorang bisa melihat bahwa bahasa memiliki alat-alat hermeneutika atau penggalian atas makna yang tidak ditutupi oleh asumsi-asumsi.

Seharusnya pula saya tidak perlu jauh-jauh (atau mungkin gak ke mana-mana) mental ke panggung sejarah. Ini kan soal kesenangan menonton film dan membuat benda-benda iseng. Jauh ya, jauh nyasar-nya.