Ketika negeri ini memasuki era “demokrasi liberal” di tahun 1950-an, pers sebagai cerminan aspirasi masyarakat, tampil sebagai pers bebas. Ketika Presiden Soekarno mendekritkan demokrasi terpimpin (1962) pers Indonesia ikut pula terpimpin.
Sampai pada rezim Presiden Soeharto memperkenalkan demokrasi pancasila (1970) – yang hakikatnya “sami mawon” dengan demokrasi terpimpin, pers Indonesia kembali terkekang. Barulah di era reformasi (1989) pers Indonesia benar-benar bebas.
Namun, belakangan pers sendiri kurang memahami makna kebebasan pers sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan-yang sudah tak lagi memerlukan izin terbit itu-tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Ada pers yang bekerja serampangan, mulai dari praktik peliputan di lapangan, pengemasan berita, sampai pengelolaan manajemennya.
Data Dewan Pers 2010 sekitar 500 aduan dari masyarakat di antaranya 66 kasus terjadi karena ketidakprofesionalan wartawan. Meski demikian, berdasarkan data lainnya, Dewan Pers menerima masukan tentang pentingnya regulasi yang jelas perihal keselamatan wartawan.
Di lain pihak, publik yang menyadari akan hak-hak sipilnya mulai berani menyuarakan aspirasi mereka, termasuk memprotes, menggugat-dengan cara yang tidak semestinya – bahkan main hakim sendiri-bentrok antarumat beragama di Cikeusik, Pandeglang, Banten dan kerusuhan di Temanggung, misalnya.
Ini semua adalah dampak dari reformasi, ketika (sebagian) masyarakat mulai terbuka dan menyadari akan hak-hak sipilnya. Sebagai dampak dari iklim reformasi yang “serba terbuka” itu, kebebasan pers memungkinkan lahirnya media pers yang benar-benar bebas.
Apalagi untuk menerbitkan media tak lagi diperlukan izin dari pemerintah. Jumlah pers cetak saja, misalnya, mencapai ribuan. Belum lagi televisi, radio dan citizen journalism yang kemudian disebut online media. “Citizen journalism lebih berani mengkritik pemerintah, dan mereka Ketua Dewan Pers bidang Pengaduan Masyarakat dan Penegakkan Etika, Agus Sudibyo.
Ya, media massa telah menjamur. Kondisi seperti itu di samping menggembirakan (karena publik bebas berekspresi) dan menghidupkan suasana persaingan, di lain pihak mengkhawatirkan karena cukup banyak media pers yang tidak memenuhi standar kualitas. tidak profesional, dengan integritas yang rendah, yang dikenal sebagai yellow paper, pers kuning, yakni pers yang lebih mengutamakan sensasi.
Lantas, munculah istilah “kebablasan pers” “over dosis” atau sindiran pedas dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pers yang “memelintir” dan “terlalu kreatif”. Kritika apriori terebut muncul karena generalisasi pers, padahal tidak semua demikian buruk.
Dalam sebuah negara yang demokratis, di mana kekuasaan berada di tangan rakyat, publik punya hak kontrol terhadap kekuasaan agar tidak terjadi penyalah gunaan kekuasaan. Hal itu sebagaimana adagium dalam dunia politik yang sangat terkenal, yang diangkat dari kata-kata Lord Acton, sejarawan Inggris (1834 – 1902), “The power tends to corrupt, the absolute power tends to absolute corrupt” (Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan yang mutlak cenderung korup secara mutlak).
Sebagai konsekwensi dari hak kontrol tersebut, segala hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak (publik, rakyat) harus dapat diakses (diinformasikan, diketahui) secara terbuka dan bebas oleh publik, dalam hal ini pers.
Dalam kondisi seperti itulah dibutuhkan pers yang secara bebas dapat mewakili publik untuk mengakses informasi. Dari sinilah bermula apa yang disebut “pers bebas” (free press) atau “kebebasan pers” (freedom of the press) sebagai syarat mutlak bagi sebuah negara yang demokratis dan terbuka.
“Memang, ada yang over dosis, tapi media yang mana? Presiden ke media atau sebaliknya, juga harus menghindari penilaian yang apriori,” kata Agus. Menurutnya, kebebasan mengkritik model apriori itu membuat iklim dekomkrasi yang tidak sehat. Pers sekarang semakin bebas, lebih bebas dari tahun-tahun sebelumnya. Represi yang dialami oleh media justru bukan dalam bentuk fisik, tapi dalam bentuk ekonomi, misalnya represi dari pemilik media dan pemasang iklan.
Dalam kondisi seperti itu, wajar jika muncul media yang diterbitkan bukan untuk memperjuangkan idealisme (seperti halnya pers perjuangan atau pers di zaman liberal), melainkan semata-mata sebagai komoditi.
Memang, itu tak berarti bahwa pers yang diterbitkan oleh pemodal yang cukup kuat sama sekali tidak peduli pada profesionalisme dan idealisme. Justru profesionalisme dan idealisme dapat terwujud berkat dukungan pemodal yang kuat (tapi yang mengerti akan idealisme pers).
Kesejahteraan Wartawan
Kerbebasan pers yang bertanggungjawab tercermin dari wartawannya itu sendiri. The nose of news, seorang wartawan harus memiliki kemampuan mengendus jenis berita-sebagaimana kata Charles A. Dana (1882) lebih seabad silam, “When a dog bite a man that is not a news, but when a man bites a dog that is a news” (Jika ada seokor anjing menggigit orang hal itu bukanlah berita, tapi jika ada orang menggigit anjing hal itu baru berita).
“Ada juga wartawan yang “kesasar”. Saya kira sama seperti profesi yang lain, banyak yang disalahgunakan. Yang main-main dengan saham juga ada. Makanya ada yang bilang, kalau mau kaya jangan jadi wartawan deh,” cetus wartawan senior Budiarto Sambasi.
Lepas dari apakah mendapat gaji besar atau kecil, wartawan yang baik seharusnya profesional, independen, memiliki integritas yang tinggi. Tapi,
Tanpa dukungan modal besar, media pers bakal “mati muda”. Oleh karena itu diperlukan manajemen yang baik, tidak lagi cukup hanya mengandalkan idealisme, termasuk trik-trik dalam hal sirkulasi, marketing (pemasaran) dan advertising (periklanan).
“Harapan saya agar perusahaan media lebih memperhatikan kesejahteraan wartawan karena saat ini, tidak banyak perusahaan yang bisa memenuhi kebutuhan hidup wartawan,” komentar wartawan majalah Hendri Firzani. Sebab, dengan meningkatnya kesejahteraan wartawan, maka ia juga dapat bekerja dengan lebih baik lagi.
Pers Indonesia lahir dari kancah pergerakan nasional untuk membebaskan rakyat dari penjajajahan politik. Ketika itulah pers pada periode itu disebut “pers perjuangan”. Hakikat kebebasan pers merupakan “hak kebebasan bagi pers dan wartawan”. Hak kebebasan itu kini masih sebuah perjuangan.
Keterangan foto: Koleksi penulis
You must be logged in to post a comment.