Dalam banyak hal, kritik sering keliru (meleset) dari benar. Mengapa? Karena, kritik cenderung sering tertinggal satu langkah dari karya seni. Ketertinggalan langkah ini tak jarang membuat kesenjangan jarak antara kritik dan objek kritik, sebagai objek persoalan. Kesenjangan segitiga antara kritik, karya seni dan publik atau kritikus, seniman (pencipta) dan penontonnya, secara empirik telah menjadi wacana perdebatan klasik yang tak henti-hentinya dari zaman kuno (ancient) hingga kiwari. Secara simplistis, barangkali orang akan melihat bahwa persoalan kesenjangan itu terletak pada perbedaan kemandirian kepentingan dan tuntutan dari ketiga faksi yang berbeda, antara kritik, karya seni dan publik. Polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan dalam banyak hal memang sulit untuk dijembatani tapi, masalah sesungguhnya tidaklah sesederhana itu.
Dalam bukunya The Failure of Criticism, Henri Peyre menulis: The charge of decadence began to be favorite one which critics around 1820-1850, when they resorted to words of moral approbium to damn the writings which, for literary or partisian reasons, they did not like. In France all the great romantics (Lamartine, Hugo, Musset, Balzac, for example) were called decadent, separately and collectivity. Nisard, a powerful critic in his day, fired a big blast at the romantic in a volume one The Latin Poets of The Decadent Era (1834), which implied throughout that Hugo and his friends stood Boileau and Racine in the same relation as Ausonius and Rutilius Nurmatianus had stood to Virgil and Lucretius. Sainte-Beuve, one must regretfully acknowledge, took up the cudgels after 1840 and many of his articles then denounced. (Peyre, 1968/184-185).
Kesalahpahaman, ketidakmengertian, a priori, prasangka –sangat sering juga ketidakjujuran- sehingga itu disebut sebagai “polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan” itulah yang antara lain sering menjadi penyebab timbulnya jarak kesenjangan antara seniman, kritikus dan publiknya. Kritik menulis tentang karya-karya musik Johann Sebastian Bach (1685-1750) pada zamannya: “Musik Bach hanya berkaok-kaok, melolong-lolong dan biki gaduh saja, musiknya sedemikian bergaung dan menggebu-gebu. Sehingga tak ada sepatah kata pun yang pantas dipakai untuk menjelaskan (kegaduhan) musik itu”. Dibandingkan dengan karya-karya para komponis sesudahnya –apalagi dibandingkan dengan “kegaduhan” musik masa kini- musik Bach ternyata jauh lebih lembut dan tidak terlalu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Betapa fatalnya kesalahan sebuah kritik!
Hal itu mungkin terjadi, karena kritik sering melupakan konteks karya seni dalam waktu yang rentang dan tegangannya secara akomodatif sangat niscaya untuk terus berubah. Pertanyaan mustahilnya adalah –kritik yang dapat mendahului waktu, sehingga kesenjangan antara kritik, seni dan publik bisa direduksi?
Jarak kesenjangan memang sering begitu jauh antara kiritik, seni dan masyarakat pendukungnya. Konsekuensi pertanyaannya adalah apakah seperti dasar konsepsi ideal (ideologi?) seniman pencipta karya seni yang secara independen jauh lebih leluasa dapat bergerak secara subjektif –kritik seni (juga) bersifat subjektif? Sebaliknya, pertanyaan yang sering berguna dari sudut (kepentingan) yang lain adalah, dapatkah kritik seni bersifat objektif? Saya kira, kedua jenis kritik yang sering diandaikan oleh seniman, kritikus maupun publik sebagai kritik yang ideal itu sesungguhnya sama sekali tidak eksis. Artinya, tidak ada kritik yang sungguh-sungguh objektif. Sebab, kritik objektif (utopian) dalam suatu karya seni adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Pada dasarnya, kritik adalah sebuah tanggapan dalam bentuk perdapat pribadi berdasarkan pandangan yang mengacu pada suatu pengalaman tertentu seseorang. Acuan pengalaman seseorang itu bersifat pribadi dan tidaklah netral. Kesenjangan (konflik persepsional) segi tiga antara karya seni, kritik dan publik, yang dipresentasikan melalui pandangan seniman, pendapat kritikus (autoritarian dalam bidangnya) dan persepsi masyarakat (pencinta seni) itu sendirilah yang justru mencerminkan keadaan objektif yang sesungguhnya, yaitu bahwa kritik objektif tidaklah mungkin. Sebaliknya, akan selalu ditemui faktor-faktor dalam sebuah kritik seni yang baik. Di dalamnya, secara taken from granted, telah mengandung hal-hal yang diharapkan. Oleh sebab itu, kritik yang baik harus selalu mengandung hal-hal yang diharapkan dapat mencerahi objek kritik, sebagai subjek persoalan. Dalam hal ini, maka karya seni yang telah mengalami kemandiriannya sebagai sebuah ideal yang “born to be free” (and to be freed), harus selalu bisa dilihat posisi kenetralannya baik dari sudut pandang sang seniman pencipta, kritikus maupun masyarakat pendukung seni.
Bukankah pada dasarnya karya seni yang telah di(lahir)kan akan menemui masyarakat penerimaannya secara bebas dan “liar” dengan kemandiriannya sendiri? Sebuah karya seni harus diberikan hak hidupnya sendiri agar ia menerima kemandiriannya, bebas dari “kuasa” publik-kritik-maupun penciptanya sendiri, yang sangat sering bersifat monopolistik dalam hal “apa yang dianggap benar”.
Jakarta, 13 Oktober 2012, 23.15 WIB
You must be logged in to post a comment.