Dalam Seni, Kritik atau Monopolistik?

14 October 2012

“Bengong” – Compact powder

Dalam banyak hal, kritik sering keliru (meleset) dari benar. Mengapa? Karena, kritik cenderung sering tertinggal satu langkah dari karya seni. Ketertinggalan langkah ini tak jarang membuat kesenjangan jarak antara kritik dan objek kritik, sebagai objek persoalan. Kesenjangan segitiga antara kritik, karya seni dan publik atau kritikus, seniman (pencipta) dan penontonnya, secara empirik telah menjadi wacana perdebatan klasik yang tak henti-hentinya dari zaman kuno (ancient) hingga kiwari. Secara simplistis, barangkali orang akan melihat bahwa persoalan kesenjangan itu terletak pada perbedaan kemandirian kepentingan dan tuntutan dari ketiga faksi yang berbeda, antara kritik, karya seni dan publik. Polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan dalam banyak hal memang sulit untuk dijembatani tapi, masalah sesungguhnya tidaklah sesederhana itu.

Dalam bukunya The Failure of Criticism, Henri Peyre menulis: The charge of decadence began to be favorite one which critics around 1820-1850, when they resorted to words of moral approbium to damn the writings which, for literary or partisian reasons, they did not like. In France all the great romantics (Lamartine, Hugo, Musset, Balzac, for example) were called decadent, separately and collectivity. Nisard, a powerful critic in his day, fired a big blast at the romantic in a volume one The Latin Poets of The Decadent Era (1834), which implied throughout that Hugo and his friends stood Boileau and Racine in the same relation as Ausonius and Rutilius Nurmatianus had stood to Virgil and Lucretius. Sainte-Beuve, one must regretfully acknowledge, took up the cudgels after 1840 and many of his articles then denounced. (Peyre, 1968/184-185).

Kesalahpahaman, ketidakmengertian, a priori, prasangka –sangat sering juga ketidakjujuran- sehingga itu disebut sebagai “polarisasi tuntutan kemandirian kepentingan” itulah yang antara lain sering menjadi penyebab timbulnya jarak kesenjangan antara seniman, kritikus dan publiknya. Kritik menulis tentang karya-karya musik Johann Sebastian Bach (1685-1750) pada zamannya: “Musik Bach hanya berkaok-kaok, melolong-lolong dan biki gaduh saja, musiknya sedemikian bergaung dan menggebu-gebu. Sehingga tak ada sepatah kata pun yang pantas dipakai untuk menjelaskan (kegaduhan) musik itu”. Dibandingkan dengan karya-karya para komponis sesudahnya –apalagi dibandingkan dengan “kegaduhan” musik masa kini- musik Bach ternyata jauh lebih lembut dan tidak terlalu sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata. Betapa fatalnya kesalahan sebuah kritik!

Hal itu mungkin terjadi, karena kritik sering melupakan konteks karya seni dalam waktu yang rentang dan tegangannya secara akomodatif sangat niscaya untuk terus berubah. Pertanyaan mustahilnya adalah –kritik yang dapat mendahului waktu, sehingga kesenjangan antara kritik, seni dan publik bisa direduksi?

Jarak kesenjangan memang sering begitu jauh antara kiritik, seni dan masyarakat pendukungnya. Konsekuensi pertanyaannya adalah apakah seperti dasar konsepsi ideal (ideologi?) seniman pencipta karya seni yang secara independen jauh lebih leluasa dapat bergerak secara subjektif –kritik seni (juga) bersifat subjektif? Sebaliknya, pertanyaan yang sering berguna dari sudut (kepentingan) yang lain adalah, dapatkah kritik seni bersifat objektif? Saya kira, kedua jenis kritik yang sering diandaikan oleh seniman, kritikus maupun publik sebagai kritik yang ideal itu sesungguhnya sama sekali tidak eksis. Artinya, tidak ada kritik yang sungguh-sungguh objektif. Sebab, kritik objektif (utopian) dalam suatu karya seni adalah sesuatu yang tidak mungkin.

Pada dasarnya, kritik adalah sebuah tanggapan dalam bentuk perdapat pribadi berdasarkan pandangan yang mengacu pada suatu pengalaman tertentu seseorang. Acuan pengalaman seseorang itu bersifat pribadi dan tidaklah netral. Kesenjangan (konflik persepsional) segi tiga antara karya seni, kritik dan publik, yang dipresentasikan melalui pandangan seniman, pendapat kritikus (autoritarian dalam bidangnya) dan persepsi masyarakat (pencinta seni) itu sendirilah yang justru mencerminkan keadaan objektif yang sesungguhnya, yaitu bahwa kritik objektif tidaklah mungkin. Sebaliknya, akan selalu ditemui faktor-faktor dalam sebuah kritik seni yang baik. Di dalamnya, secara taken from granted, telah mengandung hal-hal yang diharapkan. Oleh  sebab itu, kritik yang baik harus selalu mengandung hal-hal yang diharapkan dapat mencerahi objek kritik, sebagai subjek persoalan. Dalam hal ini, maka karya seni yang telah mengalami kemandiriannya sebagai sebuah ideal yang “born to be free” (and to be freed), harus selalu bisa dilihat posisi kenetralannya baik dari sudut pandang sang seniman pencipta, kritikus maupun masyarakat pendukung seni.

Bukankah pada dasarnya karya seni yang telah di(lahir)kan akan menemui masyarakat penerimaannya secara bebas dan “liar” dengan kemandiriannya sendiri? Sebuah karya seni harus diberikan hak hidupnya sendiri agar ia menerima kemandiriannya, bebas dari “kuasa” publik-kritik-maupun penciptanya sendiri, yang sangat sering bersifat monopolistik dalam hal “apa yang dianggap benar”.

Jakarta, 13 Oktober 2012, 23.15 WIB

 

 

 


Rock n’ Roll Metamorph

9 April 2011

Seperti disiplin ilmu sejarah, musik rock memberi petunjuk dan gambaran tentang suatu periode waktu peradaban manusia. Rock and roll beranak-pinak melahirkan beragam aplikasi tafsir musik dalam garapan tematik. Tetapi, stuktur dan bentuk musik rock tetap utuh sebagai sosoknya.

Kepopuleran rock and roll secara global menimbulkan dampak sosial yang tidak terpikirkan sebelumnya. Musik rock and roll bukan saja memengaruhi gaya bermusik, melainkan juga gaya hidup, busana, tingkah laku, dan bahasa.

Para pengamat musik masih berdebat siapa legenda rock ‘n’ roll yang sebenarnya. Artikel majalah Rolling Stone terbitan tahun 2004 menyatakan singel pertama Elvis Presley produksi Sun Records yang berjudul That’s All Right (Mama) adalah rekaman rock and roll yang pertama.

Rock and roll dulu disebut boogie woogie dalam salah satu ritme musik blues. Cirinya backbeat yang hampir selalu diisi pukulan snare drum. Penyanyi wanita Trixie Smith pertama kali menggunakan istilah “rock and roll” dalam lagu My Baby Rocks Me With One Steady Roll yang diedarkan tahun 1922.

Bentuk awal rock and roll adalah rockabilly yang memadukan unsur-unsur R&B, blues, jazz, dan dipengaruhi musik folk Appalachia serta musik gospel. Pada 1940-an rock and roll lahir sebagai percabangan musik country dan western produk budaya orang Amerika berkulit putih, dan musik rhythm and blues (R&B) yang merupakan produk budaya orang Afrika-Amerika.

Cikal bakal musik rock and roll bisa ditemukan di daerah slum Five Points, kota New York pada pertengahan abad ke-19. Di daerah tersebut untuk pertama kalinya terjadi percampuran antara tari Afrika yang ritmis dengan musik Eropa, khususnya musik untuk tari rakyat asal Irlandia yang sangat melodius.

Sebagai tandingan bagi rock and roll Amerika, musisi Inggris menciptakan musik rock and roll gaya Inggris yang selanjutnya terkenal sebagai gerakan musik British Invasion, dan Britania Raya menjadi pusat rock and roll yang baru. Pada tahun 1958, grup Cliff Richard dan The Drifters (selanjutnya berganti nama sebagai Cliff Richard and the Shadows) mencetak hit Move It yang dicatat dalam sejarah sebagai singel rock n’ roll asli Inggris yang pertama, sekaligus melahirkan genre musik baru Rock Britania (British rock).

Awal dekade 1960-an, musik dansa yang dibawakan secara instrumental turut populer di Inggris. Beberapa lagu yang terkenal waktu itu misalnya, Apache dari The Shadows, dan Telstar dari The Tornados.

Sejak pertengahan tahun 1960-an, istilah rock n’ roll menjadi cukup disebut rock. Sejak itu pula secara berturut-turut muncul berbagai genre dansa, mulai dari twist, funk, disco, hingga house dan techno

Sebagian besar grup musik rock yang berpengaruh dan terkenal di dunia berasal dari Britania Raya, misalnya Black Sabbath, Led Zeppelin, The Rolling Stones, The Who, Pink Floyd, dan Queen.

The Tielman Brothers Sang Leluhur

Pengaruh yang tak kalah penting di musik rock adalah Jimi Hendrix. Tahun 2003 majalah Rolling Stone dan Total Guitar menobatkan Hendrix sebagai Gitaris Terbaik Sepanjang Masa.

Hendrix yang terpilih karena ia mewakili generasi gitaris rock klasik yang tumbuh subur tahun 1960-an. Ciri utama rock klasik memang menempatkan gitar sebagai pemeran utama baik sebagai instrumen maupun sebagai “vokalis”.

Namun, jauh sebelum Jimi Hendrix, Jimmy Page, atau Ritchie Blackmore mempopulerkan atraksi bermain gitar dengan gigi, di belakang kepala atau di belakang badan, Andy Tielman telah memperkenalkan aksi akrobatik legendaris ini sejak tahun 1957 bersama The Tielman Brothers.

The Tielman Brothers adalah orang keturunan maluku yang besar Surabaya dan pindah ke Belanda untuk mengadu nasib. Mereka adalah kakak beradik dari pasangan Herman Tielman dan Flora Lorine Hess. Sejak usia remaja, sekitar tahun 194O-an mereka sering manggung dihadapan pejabat-pejabat. Bahkan sempat ditonton oleh mantan Presiden Soekarno.

Pasangan kakak beradik ini antara lain, Andy Tielman (lead guitar, vocals), Reggy Tielman (2nd lead guitar, vocals), Ponthon Tielman (double bass, vocals) Loulou Tielman (drums, vocals).

Penampilan pertama mereka di Belanda adalah di Hotel De Schuur di Breda, dengan membawakan versi lain dari lagu Bye Bye Love dari The Everly Brothers. Setelah penampilan yang heboh di Belanda, The Tielman Brothers semakin dikenal di seluruh Belanda bahkan mereka sering diundang tampil di Belgia dan Jerman.

Saat The Beatles manggung pertama kali di Jerman, grup band asal Inggris ini sempat melihat penampilan The Tielmans Brothers yang manggung menggunakan Hofner Violin bass. Dan saat itulah untuk yang pertamakalinya Paul melihat Bass Violin Hofner.

Warisan Indorock Nyaris Dimuseumkan

Pada awal tahun 1960 The Tielman Brothers merilis 4 lagu ciptaan mereka sendiri, lagu itu antara lain My Maria, You’re Still The One, Black Eyes, dan Rock Little Baby. Lagu ciptaan mereka ternyata banyak disukai oleh orang-orang Belanda.

Andy Tielmans sang gitaris memakai Fender Jazz Master khusus sepuluh strings. Fender sengaja mengirim representatifnya ke Jerman saat itu untuk merancang gitar buat Andy Tielmans. Dengan membawa budaya tropis dan kecintaan kepada gitar, mereka melahirkan Indorock yang bercirikan dominasi gitar yang dipadukan dengan musik Hawaii, country, dan rock n’ roll.

Orang-orang Belanda sering menyebut aliran musik The Tielman Brothers sebagai aliran Indorock. Orang Belanda menyebut Indorock karena kebanyakan band-band tersebut beranggotakan orang-orang Indonesia.

Tapi agaknya, musik indorock saat ini kurang menarik mayoritas anak-anak muda. Mereka lebih suka menjiplak genre musik ala kebarat-baratan. Padahal justru orang barat sendiri berguru musik kepada orang pribumi (Indonesai).

Indorock semula bentuk apresiasi orang luar negeri terhadap atraksi bermusik orang Indonesia. Memang, untuk tahu musik yang bagus itu tergantung bagaimana cara menikmatinya. Lewat teknik musikalitas yang tinggi The Tielman Brothers membuktikan bahwa keroncong juga dapat nge-rock. Indorock sebaiknya bukan sekadar warisan apalagi nyaris dimuseumkan.

Keterangan foto: Diambil dari google.com


Iron Maiden Dicintai Lintas Generasi

7 February 2011

Jika tidak berlebihan, pagelaran musisi internasional di Indonesia sebagian besar selalu ‘gol’ dengan respon publik spektakuler meski berlangsung maraton dalam satu bulan. Konser yang kebanyakan nostalgia musisi kawakan ternyata juga digandrungi oleh pelbagai lintas generasi.

Ekspektasi publik menonton konser band-band mancanegara era jaman dulu (jadul) rupanya tak sepi peminat. Justru, banyak di antara penonton konser dari generasi nonsejaman alias anak-anak muda usia 20-an.

Masih ingat konser Incubus dua tahun lalu? Hampir lima ribu penonton di Tennis Indoor Senayan, Jakarta waktu itu mayoritas ABG-ABG (anak baru gede). Padahal, Incubus tenar tahun 90-an, saat mereka mungkin baru duduk di bangku sekolah dasar.

Meski tidak banyak bicara, Incubus membuat koor massal, lantaran semua lagunya dilantunkan oleh ribuan penonton. Hits macam Anna Molly, Quick Sands, Vitamins, Megalomaniac (total 17 lagu), tak membuat ribuan ABG itu lelah bernyanyi. Sedikit antiklimaks, namun hajatan Java Musikindo itu berjalan lancar.

Kini, lewat tangan promotor lain, hajatan 17 Februari akan membuktikan bahwa band fenomenal nan purba Iron Maiden juga mendapat hati di kalangan generasi muda. Band Iron Maiden asal Inggris  adalah dedengkot heavy metal yang dominan pada tahun 1984.

Band yang eksentrik ini kerap mengundang sensasi di samping karya-karya mereka yang membumi. Inilah yang menjadi beberapa alasan para musisi penerus seperti Metallica berkiblat kepada Steve Harris ‘cs’.

Sekilas catatan, nama Iron Maiden terinspirasi oleh kata ‘The Irons‘ yang ketika itu merupakan julukan bagi West Ham United F.C. –klub sepakbola yang turut memberikan dukungan kepada mereka. Steve Harris (frontman dan pemain bass), sebelum memulai karirnya di dunia musik ternyata pernah bergabung sebagai pemain sepakbola di klub West Ham junior.

Di samping itu kata ‘Iron Maiden’ rupanya adalah nama alat yang dipergunakan dalam penyiksaan pada abad pertengahan di Jerman. Saat peti serupa tubuh perempuan namun berbahan besi yang penuh mata pisau itu ditutup, itulah cara eksekusi ‘tradisional’ paling sadis. Sebagian fans fanatik percaya lirik lagu mereka line up bercerita tentang sistem eksekusi tersebut.

Mungkin sejarah umum tentang band Iron Maiden telah banyak ditulis orang. Tapi, bagi Aya (20) menggali informasi yang langka band pujaannya itu selalu menjadi hal yang menarik. Ya, gadis belia ini cukup unik, ia fans berat Iron Maiden, hasil dokrinisasi positif sang Kakak.

They’re so awesome! Legend, bisa dibilang ibu kandung heavy metal setelah Judas Priest,” ungkap penikmat aliran metal ini. Judas Priest adalah sebuah legenda band metal asal Birmingham Inggris yang terbentuk di tahun 1969, dengan pendirinya adalah KK Downing (pemain gitar) dan Ian Hill (pemain bass).

Desember lalu, Aya berhasil mendapatkan tiket konser Iron Maiden hasil menabung. Ia tahu, bahwa jarang sekali teman-teman seusianya yang juga penggemar musik genre heavy metal, terlebih band ‘purbakala’.

“Semua sudah tersegmentasi, tidak perlu minder atau risih, toh semua musik itu bagus karena teknik memainkan dan bagaimana cara menikmatinya,” papar mahasiswa Universitas Padjadjaran Bandung ini. Menurutnya, Iron Maiden bukan soal eksentriksitas penampilan saja, tetapi di balik itu mereka menyuguhkan sebuah karya yang dalam dan artistik.

Senada dengan Aya, pengamat musik spesialis rock Reggi Kayong Munggaran mengatakan Iron Maiden adalah musik yang dapat dinikmati oleh pelbagai lintas generasi. Selain memang melegenda, Iron Maiden punya karakter yang kuat sebagai jati diri ‘Iron Maiden’ sekalipun kerap bongkar pasang personel.

Salah satu lagu ‘The Rime of The Ancient Mariner’ diambil dari puisi samuel Taylor Coleridge berjudul sama, yang panjangnya 600 baris. Lirik jenius ini tak heran lahir dari tangan-tangan sarjana arsitektur nan pintar, meski kadang nyeleneh. Dan begitu berstamina saat mereka menang melawan tim veteran Liverpool tahun 90-an di usia tak lagi muda. Semua orang tahu, Bruce Dickinson memunyai lisensi penerbang dan sempat jadi atlet anggar peringkat 7 Inggris.

Terlepas dari ketenaran Iron Maiden, pengamat musik menilai band rock Amerika terutama, punya andil menginfluence musisi rock tanah air. Khususnya aliran underground yang berkembang di Bandung, Malang, dan Semarang. Sekitar 200 grup musik underground di Kota Bandung menjadikan Bandung masuk jajaran lima besar komunitas underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris dan Belanda pada 2009 lalu.

“Musik di Indonesia itu cangkokan dari Eropa, Inggris, Amerika, sehingga munculah aliran underground dan lain-lain,” kata Reggi. Tentunya, ia berharap konser-konser musisi internasional dapat merangsang kreativitas pelaku seni lokal untuk semakin berkembang dan fenomenal.

Keterangan foto: Koleksi pribadi penulis


Februari, Konser Maraton Musisi Impor

7 February 2011

Februari tahun 2011 bisa dibilang bulannya konser ‘maraton’ artis luar negeri di Indonesia. Sederet band maupun solois pengusung aliran dari berbagai genre musik padat jadwal ‘manggung’ di tanah air hampir mengalahkan rekor konser musisi lokal. Apa yang menarik dari konser-konser artis impor itu ditilik dari berbagai perspektif?

Meski krisis multidimensi melanda Indonesia, sudut kontras tampak pada cara kebanyakan orang menghabiskan waktu luang (leisure). Apapun motifnya, terbukti setiap konser yang mendatangkan musisi mancanegara selalu memperoleh ekspektasi luar biasa dari penonton.

Sebut saja konser band impor Maroon 5 yang tiketnya sudah ludes terjual (sold out) lima bulan sebelum gelaran konser pada 27 April 2011 di Istora Senayan, Jakarta mendatang. Dalam waktu sepuluh jam saja ribuan tiket seharga 600-800 ribu rupiah laris manis, mencengangkan sang promotor Java Musikindo, Adrie Subono.

Ini mungkin terbilang konser musik mancanegara paling fenomenal di Indonesia untuk tahun 2011. Di bulan ini saja, terjadi ‘estapet konser’ band-band luar negeri yang dibawa oleh berbagai Event Organizer (EO). Band rock Deftones mengawali konser pada 8 Februari 2011, di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Tiket masuk konser sudah bisa dipesan sejak 27 November lalu dengan rentang harga 300 hingga 500 ribu rupiah.

Lalu akan dilanjutkan konser band beraliran metalcore asal Inggris Bring Me The Horizon pada 19 Februari 2011 bertempat sama di Tennis Indoor, Senayan, Jakarta. Sebelumnya, 17 Februari band heavy metal Iron Maiden akhirnya mau juga menggelar konser di pantai karnaval Ancol dalam rangkaian Frontier World Tour 2011.

Oleh promotor Original Production yang berhasil memikat grup musik heavy metal legendaris asal Inggris itu, tiketnya dijual dengan harga bervariasi. Untuk konser di Jakarta, dimulai dari harga 250 ribu rupiah. Sedangkan yang di Bali, sebelum 1 Februari 2011, bisa dibeli seharga 350 – 550 ribu rupiah. Laris? Tentu saja. Tak sampai di situ, Java Musikindo juga sudah menjadwalkan pagelaran konser bertajuk Jak Jam selama dua hari, 22-23 Februari 20011.

Di hari pertama (22/2) dimeriahkan oleh tiga band asal Amerika Serikat. Antara lain, band menamai alirannya powerpop yakni We The Kings, band akustik pop Never Shout Never, dan band post harcore I See Stars. Hari kedua (23/2) ditutup dengan penampilan band yang juga sama asal Amerika Serikat beraliran pop punk New Found Glory dan Starting Line.

Pun tak ketinggalan, konser solois hadir memeriahkan bulan kedua ini. Rick Price tampil di Balai Sarbini, Jakarta (7/2). Penonton dapat menikmati penyanyi asal Australia yang dulu sempat ‘ngetop’ di Indonesia pada era 90an dengan tembang macam Heaven Knows dan If You Were My Baby dengan harga tiketnya yang mulai dari 500 ribu rupiah.

Pengamat musik rock Denny Sakrie melihat ekspektasi publik terhadap band-band asing terutama bergenre rock terjadi sejak lama. Bahkan ia memprediksikan tahun ini rock kembali berjaya. Trend musik rock di Indonesia umpamanya, akan mengalami sebuah metamorfosis tanpa kehilangan unsur kekhasannya. “2011 rock kembali berjaya,” kata Denny.

Entah itu selera penonton konser musik maupun trend musik secara global. Tentu saja rock bermetamorfosis seperti turunan-turunannya yang ada saat ini, progressive, punk, metal, British, alternative, dan lain-lain. Bagi mereka yang terbiasa menyaksikan konser berskala internasional, terutama mereka para kaum urban Jakarta rela berkorban uang, tenaga dan waktu. Motifnya beragam, mulai dari penggila band yang bersangkutan, atau cuma akibat antusiasme sesaat.

Promotor sudah seperti berhala di mata penggila konser, demikian gambaran fenomena aksi band-band internasional di Indonesia. Pengkritisi musik Nicko Krisna dalam sebuah tulisan sempat mengulas tentang karakter dan pengaruh para promotor dalam negeri terhadap selera musik setiap orang. Nicko memaparkan, Adrie Subono, tetap konsisten dengan keberagaman selera musiknya, yang selalu membawa band dan solois dari berbagai kelas.

Sementara itu, pemain lama yang disebut-sebut sebagai pionir music event organizer di negeri ini, Peter Basuki, seperti terengah-engah dan kehabisan napas. EO kepunyaannya, Buena Production (BP), terlalu berusaha konsisten di jalur ‘mahal’ dan ‘aman’ dengan membawa artis internasional mulai dari yang begitu senior, seperti Natalie cole, Al Jarreau, George Benson, boyband masa lampau, backstreet boys, hingga musisi kontemporer terkini, Sarah Brightman.

“Namun, ‘barang’ bawaannya itu malah menjadi boomerang bagi Peter. Beliau selalu mematok harga mahal untuk tiket di setiap konser yang diselenggarakan oleh BP, namun, tidak ada haru biru yang ‘kena’ di ingatan dari setiap hajatannya tersebut,” ungkap Nicko.

Lain hal dengan Hanin Sidharta, director Soundshine Mega Concerta. Pasar yang dia tembak lebih terukur dengan mendatangkan band maupun musisi jenius, seperti Phoenix, Kings of Convenience, Club 8, Sondre Lerche, Jens Lekman.

Dengan harga tiket yang masuk akal, kata Nicko, setiap event yang diadakan Soundshine, sanggup memboyong rombongan loyalis untuk memenuhi setiap gelarannya. Di lain tempat, Peter Gontha, dengan bendera Java Festival Production(JFP), sudah berhasil melakukan mission impossible dia, Java Jazz. The Manhattan Transfer, Baby Face, John Legend, Tony Braxton dan kelompok maupun musisi Jazz lokal dari berbagai kelas, bisa dia kumpulkan dalam festival musik tersebut. Soulnation dan Java Rockin’land.

Yang pertama disebut merupakan ajangnya para musisi hip hop serta soul skala internasional maupun nasional berpadu, sementara yang terakhir adalah festival musik rock, dengan line up artis luar plus dalam negeri, yang masuk dalam kategori cutting edge, yang baru pertama kali diadakan tahun 2009, dan bisa mengumpulkan band-band luar favorit jaman dulu seperti Mr. Big, Third Eye Blind, hingga yang terkini, MEW.

JFP sudah berhasil mengeksekusi festival Java Jazz selama lima tahun berturut-turut. Ini merupakan kebanggaan tersendiri buat Indonesia, untuk pencitraan konsistensi yang baik terhadap negara lain. Sebab, Jakarta, sebagai ibukota, sanggup memberi rasa nyaman bagi para musisi luar, saat mereka beraksi di sini.

Ada juga Solucite yang konsisten di jalur musik keras. Terakhir mereka baru saja mendatangkan band horror punk asal New Jersey, Misfits. EO ini dikenal dengan keteguhannya untuk tetap berada di garis metal. Tampak dari semua band yang mereka bawa ke Indonesia, seperti Kreator, Pukelization, Dragon Force, Helloween, As I Lay Dying, Lamb of God, hingga Arch Enemy.

Isu-isu yang dihembuskan para promotor musik ini kadang seperti magnet yang mampu mengyedot alam pikiran orang untuk selalu berharap agar menjadi kenyataan. Masing-masing promotor memunyai ciri khas. “Ada yang bunglon, yaitu Adrie Subono, ada yang senang membawa produk ‘basi’ yakni Peter Basuki, ada yang setia dengan jalur yang sama, yaitu Solucite, ada yang ‘angot angotan’ adalah Tommy Pratama dan Nepathya, dan ada yang begitu konsisten, seperti Peter Gontha,” ujar Nicko.

Tapi, Denny berpendapat musisi dalam negeri pun tak kalah berambisi untuk go internasional. “Semua musik kan segmented,” imbuhnya. Denny mengatakan grup musik itu bisa dikatakan go internasional jika karya mereka bisa diterima di setiap negera. Salah satu indikator artis berhasil go internasional ialah jika album mereka sudah nampang di toko-toko kaset atau CD di belahan negara mana pun.

Masyarakat kita sering kali salah kaprah dengan sebutan go international. Baru manggung di Malaysia atau Singapura, sudah di cap go internasional. Atau, duet dengan penyanyi internasional yang belum cakap di dunia musik global, sudah dicap go internasional. “Padahal yang patut disebut go internasional yah ketika sudah menjajal barometer musik dunia macam Amerika atau Jepang,” kata Denny.

Kembali bicara soal konser maraton musisi impor, menurut Denny semua sudah tersegmentasi. Senada dengan Denny, Adrie Subodo menganggap konser maraton musisi internasional di bulan Februari masing-masing punya jatah. Soal padatnya band-band yang mayoritas asal Amerika Serikat konser di Indonesia, Adrie tak mempermasalahkan kue penonton yang bakal terjaring nanti. ”Mereka (band-band) itu semua kan punya penggemar tersendiri jadi, tidak masalah,” pungkas Adrie.

Keterangan foto: Koleksi penulis


Corat-coret Dari Pojok Pangung JJF 2010

8 March 2010

Menumbuhkan gairah penciptaan music jazz Indonesia, demikian tujuan yang hendak dicapai penyelenggara Jakarta International Java Jazz Festival 5,6,7 Maret 2010. Lantas apakah tujuan tersebut telah terlukiskan nyata dan mengena bagi banyak komponis muda Indonesia?

“Musik itu bukan soal gagas menggagas, tetapi seperti pentas seni modern lainnya. Persoalan utama adalah bagaimana menyampaikan ekspresi musikal pemainnya dengan teknik tinggi dan inovatif, ini perlu proses,” kata seniman Butet Kertaredjasa baru-baru ini.

Catatan redaksi, Jakarta International Java Jazz Festival (JJF) 2010 bertema ‘Jazzin’ Up Remarkable Indonesia’ ditutup oleh special show Kenny ‘Babyface’ Edmunds semalam, Minggu (7/3) di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta. Pertunjukan skala internasional di lokasi yang baru untuk pertama kalinya ini cukup mengundang antusiasme pencipta dan penikmat jazz dari dalam negeri atau negara tetangga seperti Malaysia, dan Singapura.

Butet menganalogikan perenovasian musik jazz dalam sebuah ajang festival internasional ini sebuah birokrasi yang memberi gairah tersendiri khususnya bagi komponis-komponis muda. Persoalannya adalah, bagaimana simpul-simpul pencerahan jazz itu diimplikasikan secara nyata dan di rumah sendiri.

“Ibarat birokrasi, seni juga demikian. Tak perlu hidup dari karya, tapi musik cukup pegang kendali kriteria, kendali lobi,” ujar kakak seniman mooi indie Djadjuk Ferianto ini.

Bukan mengukur seberapa tinggi atau megah pertunjukan jazz tersebut, tetapi bagaimana melahirkan gagasan dan ide-ide segar. “Musik itu seperti pegawai negeri menunggu pensiun. Jika tak direnovasi cuma sekadar tradisi yang lama-lama bisa mati,” imbuhnya.

Menurutnya, kini banyak seniman Indonesia tak berani total menggeluti bidangnya, karena ragu-ragu. Renovasi jazz perlu, tetapi bukan menjiplak tok karya musisi Amerika dan lainnya. Java Jazz misalnya, memediasi pencipta aransemen lagu Dayne Warren berduet dengan musisi jazz muda asal negeri Sandy Sandoro yang sudah kadung tenar di Eropa duluan.

“Saya senang sekali manggung di rumah sendiri (Indonesia). Nggak ada bedanya dengan tampil di panggung Eropa,” ungkap Sandy Sandoro usai berkesempatan menyanyikan lagu Dayne Warren ‘Nothing But Us Know’ di hari kedua JJF.

Penampilan Manhattan Transfer misalnya, tak kalah modern dengan paduan drum dan tuts electric keyboard yang lebih fresh membawakan hits Chanson D’Amour. Atau suguhan suara benik plus petikan gitas Andre Hehanusa dipadu aksen nge-rape membawakan lagu tribute to A Riyanto.

“Ini adalah sebuah persembahan musik yang datang dari jiwa,” kata Andre sebelum berduat dengan Lisa A Riyanto.

“We just play what comes into my mind,” kata pelopor grup vocal Manhattan Transfer Tim Hauser.

Simak juga aksi Jhon Legend di hari pertama JJF yang rata-rata mengundang teriak histeris dan decak kagum kaum muda-mudi ketika beraksi di panggung. Toni Braxton mungkin penampil yang simple modern. Ia memang tak menggabung komposisi baru dalam musiknya. Suara Baxton yang berat dan jazzi telak pantas menjadi pujian.

“JJF tahun ini lumayan bagus! Saya suka penampilan smooth Dayne Warren dan klasik jazz Manhattan Transfer. Catatan untuk acara ini, sound system-nya kurang bagus, agak noise, dan ruangannya panas,” kata seorang pengunjung Selly (28).

Betapapun JJF telah menyumbangkan sebuah kenangan besar dan menjadi pemacu semangat komponis serta musisi muda Indonesia mudah-mudahan menjadi suguhan baru bagi masyarakat jazz dunia. Oleh karena itu, JJF tidak boleh hanya menghasilkan keuntungan prestise atau materi semata, tetapi meninggalkan jejak-jejak budaya musik Indonesia lebih jelas dan orisinil.


Curi Pandang Lengking Saksofon Jembatan

18 February 2010

Selayang pandang pada sebuah jembatan penyebrangan adalah keangkuhan. Wajah-wajah tak karib, dan kurang perhatian, berpadu ayun langkah buru-buru para pejalan kaki di sebuah kota penuh arogansi. Tapi itu dulu, ketika mereka belum mengenal lengkingan romantis I’m in the mood for love aksi main ala musisi jembatan si anak jalanan. Siapa sangka mereka jadi saling beradu, dan mencuri pandang.

Mulanya hanya dua perempuan pegawai bank yang terpukau aksi Lucki (37) mahir meniup saksofon. Dua wanita bermake-up tebal yang mengempit tas Gucci aspal, terpana pada pria biasa itu. Lengking merdu saksofon cukup asing berada di atas jembatan penyebrangan Bundaran HI, Jl Sudirman.

“Bagus banget mainnya! Kayak bukan pengamen biasa, unik, ini baru pertama ada di Jakarta,” aku Femmy (26) antusias.

Sepasang bola mata lain tertuju pada pemandangan dua wanita itu. Posisi berlawan arah, adalah seorang pria muda 25-an usianya kira-kira. Habis anak tangga naik dijejaknya, ia disuguhkan lantunan Kenny G. Bak sekelebat hipnotis tuts saksofonis dalam konser megah kelas profesional di Paris, si pria muda enggan melewatkan penampilan Lucki. Padahal,  lima detik sebelum ia naik, mukanya kusut akibat lamaran kerja dalam amplop cokelatnya, belum laku ditawar perusahaan. Sempat putus asa dia, lima detik lalu.

“Keren! Saya jadi serasa ada di sepanjang jalan Vaclavske Namesti, Praha,” ungkap Rendhi.

Sementara, sepasang muda-mudi sibuk sedari tadi membidik Lucki, mengatur komposisi dari berbagai posisi. Fotografer profesional rupaya, tampak tangkas memainkan DSLR Canon EOS 40D milik pribadi.  Cahaya emas dari lampu neon jalan memantulkan kilau saksofon perak Lucki. Justru ini membangkitkan gairah malam di sebuah jembatan menjadi elegan.

“Saya biasa mangkal di jembatan HI, setiap Sabtu, dan Minggu sore sampai malam” ujar Lucki yang mengaku mengantongi Rp 30 ribu sekali ‘mentas’.

Meski meyebrang dari jembatan satu ke jembatan lain, Lucki bukan tak berprestasi. Bakat terpendam yang baru ia sadari tiga tahun lalu itu, diakui oleh beberapa anak negeri. Sebutlah grup rape Saykoji, dan warna nyentrik White Shoes and The Couples Company. Mereka pernah mengajak Lucki apik kolaborasi.

“Saksofonis sekarang sudah jarang. Kalau ngambil dari profesional mungkin bayarannya mahal, sementara saya berapa saja jalan,” Lucki blak-blakan.

Lalu mengapa memilih jembatan sebagai media ekspresi? Sementara fasilitas publik yang dimanfaatkan peminta-minta, asongan, dan pedagang pernak-pernik gelang tangan. “Di sini strategis. Ramai, nguji mental, promosi gratis, sekalian cari makan,” jawab lajang ini.

Bunyi saksofon paling lantang di antara instrumen melodis lain. Maka, sungguh sia-sia jika ia terkurung, sembunyi di balik studio musik kedap suara. “Saksofon itu ekspresif. Kalau di Eropa, mereka mainkan di emperan, taman, di atas gedung, atau tempat terbuka lainnya,” tambah Lucki.

Usahanya menarik perhatian publik, cukup berhasil. Orang selalu memberi atensi beragam. Uang recehan pada kantung penampung rezeki yang diletakkan Lucki di ujung sepatu dekilnya selama pentas. Tampilan Lucki tergolongnecis, ia padukan kaus gombrong dengan jeans navy belel, tak ketinggalan kupluk rasta ala Bob Marley.

Meski begitu menggoda mata, tidak lantas pentas rutinan saksofon berlangsung mulus selurus Jl Sudirman di bawah kaki jembatan. Lucki kerap kucing-kucingan, main petak umpet dengan aparat Trantib yang siap menyergapnya kapan saja. Pernah ia lobi sang juragan jalan itu, namun, pekerjaan itu sia-sia. Malahan, ada oknum yang peras duit dia seenak perut. Lagi-lagi Lucki mesti berhenti sesaat berangan untuk sekolah musik profesional jurusan andal saksofon.

“Kadang saya kecewa, dengan mereka yang hanya kagum atau mengajak saya kerjasama bukan karena suara saksofonnya. Tapi, mereka menanyai perihal kehidupan saya, perjalanan saya. Tidak ada yang bicara soal karya boro-boro mengapresiasi musik jalanan ini,” keluhnya panjang lebar.

Cita-cita Lucki cukup realistis, yakni membuat saksofon diterima semua lapisan orang. Lewat gebrakan musik elegan turun ke jembatan, ia ingin membuktikan bahwa saksofon alat musik instrument lintas kasta. “Bukan cuma bule-bule atau bos kantoran saja yang bisa menikmati saksofon, tapi semua orang, gelandangan, pengemis, pedangan asongan, loper koran, jiwa mereka patut berbahagia dengan nada ini,” tutur dia.

Bahwa benar sepeninggal saksofonis andal EmbongRaharjo, Indonesia tidak kekurangan bakat peniup saksofon. Bahwa tidak mustahil orang kita, atau kepada mereka yang disebut bawahan tuannya berpotensi jadi komposer mendunia seperti Dave Coz. Mengapa tidak negeri ini memproduksi manusia-manusia pencipta maha karya.

ik5