Sie Jin Kwie : Sebuah Catatan Pinggir, pinggir..banget

2 April 2012

Sebelumnya, izinkan saya jujur, ini adalah tulisan bukan review tentang pementasan trilogi Sie Jin Kwie “Di Negri Sihir” yang baru berakhir tadi malam. Ini hanya sebuah upaya dalam rangka olahraga kecakapan menggerakkan jari-jemari tangan heheh..

Dulu, saat saya masih young and stupid, saya tidak pernah tahu soal efek samping terlalu kagum kepada hal-hal yang bersifat intelektual. Bagi orang dari daerah seperti saya, pengetahuan adalah mainan yang selalu menarik. Mulai dari yang formal di lembaga pendidikan maupun hal-hal ajaib seperti rumus bagaimana membuat capung dari permainan karet gelang :p

Singkatnya, anak kampung (tapi keren) ini, selalu ternganga dengan pemaparan berbasis teori-teori kedisiplinan ilmu (halah). Saat itu (young and stupid) saya pernah terjebak dalam kamuflase orang-orang yang sebenarnya tidak tahu.

Demikian juga anggapan saya terhadap sastra. Dalam imajinasi awam saya kala itu, sastra adalah ‘makhluk’ horor. Ia rumit, auranya bisa membuat engkau sembelit. Kalau menyimak karya sastra jenis apapun tidak boleh menampakkan gigi apalagi tertawa terbahak-bahak. Hah menegangkan! Begitu kira-kira.

Propaganda dari oknum yang senang tampil di media pun turut andil membuat saya semakin yakin kalau sastra itu ‘makanan berat’ bukan camilan. Ditambah spekulasi yang cenderung merusak kesenangan menikmati sastra. Saya turut prihatin… *ala Beye*

Yang lebih menyedihkan lagi, sastra sering tercemar ‘virus-virus’ snobisme. Bu Dewi Sri, guru saya bilang, di dalam membaca karya sastra, kejujuran itu perlu.

Salah satu hambatan untuk mendapatkan manfaat dan nilai sebesar-besarnya dari karya sastra adalah snobisme. Seorang snob itu orang yang beranggapan bahwa kemampuan menikmati karya sastra itu adalah suatu gengsi dan hak orang-orang terpelajar. Karena itu, walaupun tidak paham atau tidak suka kepada suatu karya, ia berpura-pura paham atau berpura-pura suka kepada karya itu. Kadang-kadang ia pun mengumbar pendapat dengan mengutip berbagai teori agar memberi kesan bahwa ia terpelajar. Ini sangat menggelikan tapi sekaligus menyedihkan. Sekali lagi, saya prihatin… *ala Bu Ani*

Celakanya, wartawan juga sering mendadak snob. Bukankah apresiator sejati harus menghindari itu?

Menikmati sastra katanya harus jujur, adil, langsung, bebas dan rahasia (lho...). Benar, memang perlu rileks, sikap menahan diri dari penilaian yang tergesa. Betul?

Nah, misalnya soal pementasan trilogi Sie Jin Kwie yang bagi seorang awam seperti saya, ia mampu merekonstruksi skema kesusastraan (widih).

Bagian yang paling menarik ada namanya Wayang Tavip. Untuk menyiasati durasi, muncul adegan yang dikemas berupa Wayang Tavip didalangi oleh seniman Bandung, M Tavip. Sumber karakternya dari Wayang Kulit Cina-Jawa karya Gan Thwan Sing. Itu jenis wayang yang mati di awal Orde Baru. Tepatnya pada 1966 dan 1967, saat kebudayaan Tionghoa Indonesia terhenti sama sekali setelah perubahan politik yang drastis. Perseteruan dan permusuhan politik membuat orang mendeskreditkan golongan masyarakat Tionghoa, mencurigai mereka sebagai kepanjangan tangan RRT. Kita memang tidak pernah ada musim dingin tapi, seni budaya Tionghoa Indonesia telah dibekukkan selama lebih dari 30 tahun. Di sini pun tidak mengenal musim rontok, namun seni budaya Tionghoa Indonesia telah rontok berguguran selama masa itu. (kok jadi sejarah ya?)

Kalau mau sedikit serius, Sie Jin Kwie bersama dengan Wayang Tavip ini merupakan bagian dari komunitas sastra khas yang melakukan hegemoni makna gerakan dalam proses masyarakat plural. Wayang Tavip dengan kemasannya yang khas membawa tradisi kelisanan bahwa menonton wayang tidak harus tegang seperti menonton wayang kulit cerita Ramayana semalam suntuk.

Para snob mungkin merasa aneh dengan gaya bahasa Sie Jin Kwie yang keluar pakem. Seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa karakter di Sie Jin Kwie menyisipkan cetusan populer (hits) yang relatif mudah dicerna seperti: “lebay“, “aqyu“, atau menyadur sederhana “penyakit bingung-bingung”, “setan biji kacang” dan lain-lain. Ini lebih baik daripada bahasa dalam permainan tipografi subjektif yang mengandung teka-teki membingungkan. Ya, karena sastra tanpa kebaruan (novelty) akan kehilangan energinya, kan?

Rasanya, membuka diri dan santai kepada karya sastra akan membawa imajinasi kita menuju tuntunan sastrawan, menjelajah dalam dunia imajinatifnya. Sastra yang sehat adalah sastra yang humanis, yang mempersilakan penikmatnya tertawa terbahak-bahak, bukan kram otot. Demikian. ;D

Jakarta, 1 April 2012

Keterangan foto : Diambil dari google.com