Samadya

9 March 2010

“Hiduplah secukupnya saja,” kata seorang lelaki tua kepada saya di metromini siang ini.

Sungguh.. Saya tertegun.

Lantas menerawangkan saya pada makna hidup di madyapada peringatan tahun baru Jawa 1 Syuro. Bahwa hidup itu menganjurkan agar manusia tidak ngaya lan ngangsa (melangkah berlebih-lebihan atau bahasa ABG-nya ‘lebay’). Tetapi, melangkahlah samadya (secukupnya) saja.

Kalau tidak hidup samadya, tetapi ngaya lan ngangsa, maka manusia akan menjadi manusia yang rumangsa bisa (merasa bisa), tetapi justru ora bisa rumangsa (tidak bisa merasa).

Pikiran saya makin melanglang buana. Tiba di ranah politik lagi rupanya. Simpul-simpul input itu terakhir membawa saya pada kondisi perpolitikan negara (melamunpun saya jatuhnya politik lagi, beraaat). Omong-omong soal ora bisa rumangsa, itulah yang kini, oh bukan, dari dulu menimpa para elit politik di negeri dagelan sana.

Elit politik sekarang besar dalam akal dan pikirannya, tetapi kerdil dalam nurani dan perasaannya. Kebesaran akal tanpa rasa ini dalam bahasa Jawa disebut gedhe gombong, kebesaran yang kosong melompong. Karena itu, kendati besar, hebat, dan kaya, elit politik negeri dagelan mudah goyang (digoyang) dan hidupnya tak tenang. Kasihan..

[Ya lebih lengkapnya tengok sajalah berita teman-teman di DPR Vs istana sana]

Situasi elit politik itu kontras berlawanan dengan hidup rakyat, hidup lelaki tua di mentromini, atau juga tetangga kos-kosan saya. Di tengah serba krisis begini, rakyat kecil tidak terlalu kelabakan. Lho? Iya, potret lelaki tua itulah yang jadi umpama.

Bahwa hidup rakyat kecil memang serba kekurangan. Tetapi, mereka berusaha agar mereka tidak mati kelaparan. Mereka merasa cukup dan tenang, karena mau hidup samadya saja. Lelaki tua sederhana di metromini itu umpamanya. Entah dia siapa, pengemis-kah? Pemilik saham BUMI-kah? Atau elit politik-kah? Yang jelas ia menanggalkan perilaku yang ngaya dan ngangsa, lalu hidup seperti rakyat yang samadya saja.

ik5


Curi Pandang Lengking Saksofon Jembatan

18 February 2010

Selayang pandang pada sebuah jembatan penyebrangan adalah keangkuhan. Wajah-wajah tak karib, dan kurang perhatian, berpadu ayun langkah buru-buru para pejalan kaki di sebuah kota penuh arogansi. Tapi itu dulu, ketika mereka belum mengenal lengkingan romantis I’m in the mood for love aksi main ala musisi jembatan si anak jalanan. Siapa sangka mereka jadi saling beradu, dan mencuri pandang.

Mulanya hanya dua perempuan pegawai bank yang terpukau aksi Lucki (37) mahir meniup saksofon. Dua wanita bermake-up tebal yang mengempit tas Gucci aspal, terpana pada pria biasa itu. Lengking merdu saksofon cukup asing berada di atas jembatan penyebrangan Bundaran HI, Jl Sudirman.

“Bagus banget mainnya! Kayak bukan pengamen biasa, unik, ini baru pertama ada di Jakarta,” aku Femmy (26) antusias.

Sepasang bola mata lain tertuju pada pemandangan dua wanita itu. Posisi berlawan arah, adalah seorang pria muda 25-an usianya kira-kira. Habis anak tangga naik dijejaknya, ia disuguhkan lantunan Kenny G. Bak sekelebat hipnotis tuts saksofonis dalam konser megah kelas profesional di Paris, si pria muda enggan melewatkan penampilan Lucki. Padahal,  lima detik sebelum ia naik, mukanya kusut akibat lamaran kerja dalam amplop cokelatnya, belum laku ditawar perusahaan. Sempat putus asa dia, lima detik lalu.

“Keren! Saya jadi serasa ada di sepanjang jalan Vaclavske Namesti, Praha,” ungkap Rendhi.

Sementara, sepasang muda-mudi sibuk sedari tadi membidik Lucki, mengatur komposisi dari berbagai posisi. Fotografer profesional rupaya, tampak tangkas memainkan DSLR Canon EOS 40D milik pribadi.  Cahaya emas dari lampu neon jalan memantulkan kilau saksofon perak Lucki. Justru ini membangkitkan gairah malam di sebuah jembatan menjadi elegan.

“Saya biasa mangkal di jembatan HI, setiap Sabtu, dan Minggu sore sampai malam” ujar Lucki yang mengaku mengantongi Rp 30 ribu sekali ‘mentas’.

Meski meyebrang dari jembatan satu ke jembatan lain, Lucki bukan tak berprestasi. Bakat terpendam yang baru ia sadari tiga tahun lalu itu, diakui oleh beberapa anak negeri. Sebutlah grup rape Saykoji, dan warna nyentrik White Shoes and The Couples Company. Mereka pernah mengajak Lucki apik kolaborasi.

“Saksofonis sekarang sudah jarang. Kalau ngambil dari profesional mungkin bayarannya mahal, sementara saya berapa saja jalan,” Lucki blak-blakan.

Lalu mengapa memilih jembatan sebagai media ekspresi? Sementara fasilitas publik yang dimanfaatkan peminta-minta, asongan, dan pedagang pernak-pernik gelang tangan. “Di sini strategis. Ramai, nguji mental, promosi gratis, sekalian cari makan,” jawab lajang ini.

Bunyi saksofon paling lantang di antara instrumen melodis lain. Maka, sungguh sia-sia jika ia terkurung, sembunyi di balik studio musik kedap suara. “Saksofon itu ekspresif. Kalau di Eropa, mereka mainkan di emperan, taman, di atas gedung, atau tempat terbuka lainnya,” tambah Lucki.

Usahanya menarik perhatian publik, cukup berhasil. Orang selalu memberi atensi beragam. Uang recehan pada kantung penampung rezeki yang diletakkan Lucki di ujung sepatu dekilnya selama pentas. Tampilan Lucki tergolongnecis, ia padukan kaus gombrong dengan jeans navy belel, tak ketinggalan kupluk rasta ala Bob Marley.

Meski begitu menggoda mata, tidak lantas pentas rutinan saksofon berlangsung mulus selurus Jl Sudirman di bawah kaki jembatan. Lucki kerap kucing-kucingan, main petak umpet dengan aparat Trantib yang siap menyergapnya kapan saja. Pernah ia lobi sang juragan jalan itu, namun, pekerjaan itu sia-sia. Malahan, ada oknum yang peras duit dia seenak perut. Lagi-lagi Lucki mesti berhenti sesaat berangan untuk sekolah musik profesional jurusan andal saksofon.

“Kadang saya kecewa, dengan mereka yang hanya kagum atau mengajak saya kerjasama bukan karena suara saksofonnya. Tapi, mereka menanyai perihal kehidupan saya, perjalanan saya. Tidak ada yang bicara soal karya boro-boro mengapresiasi musik jalanan ini,” keluhnya panjang lebar.

Cita-cita Lucki cukup realistis, yakni membuat saksofon diterima semua lapisan orang. Lewat gebrakan musik elegan turun ke jembatan, ia ingin membuktikan bahwa saksofon alat musik instrument lintas kasta. “Bukan cuma bule-bule atau bos kantoran saja yang bisa menikmati saksofon, tapi semua orang, gelandangan, pengemis, pedangan asongan, loper koran, jiwa mereka patut berbahagia dengan nada ini,” tutur dia.

Bahwa benar sepeninggal saksofonis andal EmbongRaharjo, Indonesia tidak kekurangan bakat peniup saksofon. Bahwa tidak mustahil orang kita, atau kepada mereka yang disebut bawahan tuannya berpotensi jadi komposer mendunia seperti Dave Coz. Mengapa tidak negeri ini memproduksi manusia-manusia pencipta maha karya.

ik5


Legenda Singasana Ratu Pantai Selatan

13 February 2010

INILAH.COM, Sukabumi – Debur ombak setinggi dua meter menerjang bongkahan batu karang. Nuansa rona hijau terpancar di Pantai Karang Hau, singasana Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.

Perjalanan INILAH.COM kali ini, Selasa (8/12), terdampar di Desa Cimaja, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Tiga jam perjalanan dari Kota Sukabumi, kita sudah sampai di Pantai Karang Hau yang terkenal dengan pesona alam sekaligus daya magis Legenda Nyi Roro Kidul.

Air laut kehijauan, batu karang yang menjulang, serta makam Nyi Roro Kidul, menjadi pemikat keunikan Pantai Karang Hau. Pantai yang tak sepi pengunjung lokal dan asing itu, terkenal karena ombaknya yang ganas. Di area tertentu terpancang bendera merah, tanda peringatan pelancong tak boleh surfing, berenang, atau sekedar main air.

“Kalau sudah jam lima sore, sudah nggak boleh main di pantai,” ungkap Dadang (35) pengunjung asal Cianjur.

Life guard dan penjaga pantai juga dibawah pantauan aparat Kepolisian Kota Pelabuhan Ratu, tampak selalu siap mengawasi pantai yang dipercaya masyarakat punya kekuatan supranatural itu. Di sebelah selatan pantai, pengunjung dibuat terpukau oleh gunung batu karang yang menjulang, tempat di mana makam Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul bersemayam.

“Saya sekeluarga mah memang suka nyekar ke sini sebulan sekali sengaja dari Purwakarta,” tutur Lilis (43) yang mengaku tindakannya itu ‘mujarab’ mengatasi berbagai kesulitan hidup.

Konon, makam Nyi Roro Kidul dianggap keramat oleh sebagian mayarakat. Mereka percaya bila berziarah ke makam yang serba berwarna hijau itu akan membawa berkah dan keselamatan.

Pengunjung bisa menyaksikan ‘rumah’ Nyi Roro Kidul dengan menaiki puluhan anak tangga yang berwarna hijau untuk menuju ke puncak gunung batu karang itu. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Nyi Roro Kidul dimakamkan beserta para dayang-dayangnya, Mayang Sari, dalam legenda masa kerajaan Prabu Siliwangi.

Bagi pengunjung yang ingin bermalam, terdapat beberapa penginapan, dari yang biasa hingga hotel berbintang empat. Hanya lima menit dari Pantai Karang Hau, kita sudah sampai di Samudra Beach Hotel, hotel tertua dan punya keunikan tersendiri. Di kamar 308 hotel ini, konon tempat bagi siapa saja yang ingin bertemu langsung dengan Nyi Roro Kidul.

“Kerajaan Nyi Roro Kidul ada di dasar laut Karang Hau. Tiap malam Jumat tepat jam 12 malam lewat 5 menit orang yang nawaitu dan iman akan bisa melihatnya,” kata sesepuh Desa Cimaja Abah Uung Drajat bercerita kepada INILAH.COM.

Kamar yang serba bernuansa warna hijau itu, sengaja tidak disewakan oleh pihak hotel. Di kamar itu, tak sembarangan orang bisa masuk dan dapat ‘melihat’ sosok Nyi Roro Kidul yang terkenal sangat cantik.

Sayang, beberapa keindahan pantai selatan itu, agak terganggu dengan kondisi jalan yang tidak memadai. Jalan menuju wisata alam ini, sempit, padahal rute jalan berkelok-kelok, dan di atas tebing. Pohon-pohon pengaman di tepi jurang pun sudah mulai hilang karena penebangan liar. Padahal, daerah itu berpotensi menjadi objek pengembangan dalam dan luar negeri. [ik5]


Menunggu Pagi di Kota Orang

12 February 2010

22.36 WIB
“Wah bis ke Jakarta terakhir jam 8 malam Mbak,” ujar seorang tukang roti bakar terminal Baranang Siang, Bogor kepadaku.

Aku hanya tersenyum, senang bahkan di BAB terakhir bisa menikmati sisa-sisa petualangan ini. “Sepertinya menunggu pagi di sini saja,” gumamku membuat keputusan dadakan entah hasil diskusi kapan.

“Kalau mau dari sini bisa naik odong-odong, bayar Rp 300 ribu, atau pakai taxi Rp 150-an,” terang lelaki paruh baya itu sambil membenahi selai roti dan perabot dagangannya.

“Memangnya si Mbak dari dan mau pulang kemana?” timpal seorang pria kurus berkumis membawa jinjingan hitam penasaran sedari tadi menelisik heran tampilanku; si puan manis dengan ransel besar di punggungnya.

Aku hanya senyum “Berpetualang,” sahutku sekenanya. Meski begitu, si pria kurus malah semangat mengajukan beberapa pilihan pulang ke Jakarta yang sesungguhnya tak mau kupilih apapun bentuknya. Aku tak mengerti, padahal tak ada segores kepanikan di wajahku atau rengekan ala pesakitan seorang pembantu.

“Mungkin Mbak mau cek travel, mana tahu masih ada, mari saya antar,” dia menawarkan sambil membungkuk dalam-dalam tanda sopan. Tanpa ragu kusambut ajakannya itu.

Singkatnya, sepuluh menit di Kota orang, sudah tampak ‘paguyuban’ penemu anak hilang. “Saya tidak masalah jika tidak tidur sampai pagi,” aku mencoba menenangkan kekhawatiran sekaligus keheranan mereka dengan beberapa diskusi tentang sebuah jalan sebagai opsi.

“Di sini saja menunggunya Mbak, saya jaga sampai pagi,” sambung Mas satpam sebuah Mall besar di samping terminal bertubuh gempal.

Belum sempat kujawab, “Tunggu aja di sini Mbak, bis ada baru jam lima subuh, nggak apa-apa kok,” seorang Ibu lembut membawa teh hangat untuk si bandel ini. Waw, kebetulan aku haus dan kedinginan, tanganku terbuka lebar tanpa ternafikkan. Bertubi-tubi apakah ini Yang Maha Mulia, Gusti? Bersyukur aku padamu. Hanyalah itu.

Hmm, masih ada orang baik dan tulus di dunia, negeri, kota ini. Bumi ini masih menyimpan cerita tentang manusia. Segala isi cerita duniawi hanya manusia dan produk buatannya. Aku jadi ingat Pram dalam bukunya ‘Bumi Manusia’.
Dan perbincangan aku dengan beberapa saudara Kota orang ini akan berlanjut hingga pukul lima.
Ya Syukurillah..

*ik5