Curi Pandang Lengking Saksofon Jembatan

18 February 2010

Selayang pandang pada sebuah jembatan penyebrangan adalah keangkuhan. Wajah-wajah tak karib, dan kurang perhatian, berpadu ayun langkah buru-buru para pejalan kaki di sebuah kota penuh arogansi. Tapi itu dulu, ketika mereka belum mengenal lengkingan romantis I’m in the mood for love aksi main ala musisi jembatan si anak jalanan. Siapa sangka mereka jadi saling beradu, dan mencuri pandang.

Mulanya hanya dua perempuan pegawai bank yang terpukau aksi Lucki (37) mahir meniup saksofon. Dua wanita bermake-up tebal yang mengempit tas Gucci aspal, terpana pada pria biasa itu. Lengking merdu saksofon cukup asing berada di atas jembatan penyebrangan Bundaran HI, Jl Sudirman.

“Bagus banget mainnya! Kayak bukan pengamen biasa, unik, ini baru pertama ada di Jakarta,” aku Femmy (26) antusias.

Sepasang bola mata lain tertuju pada pemandangan dua wanita itu. Posisi berlawan arah, adalah seorang pria muda 25-an usianya kira-kira. Habis anak tangga naik dijejaknya, ia disuguhkan lantunan Kenny G. Bak sekelebat hipnotis tuts saksofonis dalam konser megah kelas profesional di Paris, si pria muda enggan melewatkan penampilan Lucki. Padahal,  lima detik sebelum ia naik, mukanya kusut akibat lamaran kerja dalam amplop cokelatnya, belum laku ditawar perusahaan. Sempat putus asa dia, lima detik lalu.

“Keren! Saya jadi serasa ada di sepanjang jalan Vaclavske Namesti, Praha,” ungkap Rendhi.

Sementara, sepasang muda-mudi sibuk sedari tadi membidik Lucki, mengatur komposisi dari berbagai posisi. Fotografer profesional rupaya, tampak tangkas memainkan DSLR Canon EOS 40D milik pribadi.  Cahaya emas dari lampu neon jalan memantulkan kilau saksofon perak Lucki. Justru ini membangkitkan gairah malam di sebuah jembatan menjadi elegan.

“Saya biasa mangkal di jembatan HI, setiap Sabtu, dan Minggu sore sampai malam” ujar Lucki yang mengaku mengantongi Rp 30 ribu sekali ‘mentas’.

Meski meyebrang dari jembatan satu ke jembatan lain, Lucki bukan tak berprestasi. Bakat terpendam yang baru ia sadari tiga tahun lalu itu, diakui oleh beberapa anak negeri. Sebutlah grup rape Saykoji, dan warna nyentrik White Shoes and The Couples Company. Mereka pernah mengajak Lucki apik kolaborasi.

“Saksofonis sekarang sudah jarang. Kalau ngambil dari profesional mungkin bayarannya mahal, sementara saya berapa saja jalan,” Lucki blak-blakan.

Lalu mengapa memilih jembatan sebagai media ekspresi? Sementara fasilitas publik yang dimanfaatkan peminta-minta, asongan, dan pedagang pernak-pernik gelang tangan. “Di sini strategis. Ramai, nguji mental, promosi gratis, sekalian cari makan,” jawab lajang ini.

Bunyi saksofon paling lantang di antara instrumen melodis lain. Maka, sungguh sia-sia jika ia terkurung, sembunyi di balik studio musik kedap suara. “Saksofon itu ekspresif. Kalau di Eropa, mereka mainkan di emperan, taman, di atas gedung, atau tempat terbuka lainnya,” tambah Lucki.

Usahanya menarik perhatian publik, cukup berhasil. Orang selalu memberi atensi beragam. Uang recehan pada kantung penampung rezeki yang diletakkan Lucki di ujung sepatu dekilnya selama pentas. Tampilan Lucki tergolongnecis, ia padukan kaus gombrong dengan jeans navy belel, tak ketinggalan kupluk rasta ala Bob Marley.

Meski begitu menggoda mata, tidak lantas pentas rutinan saksofon berlangsung mulus selurus Jl Sudirman di bawah kaki jembatan. Lucki kerap kucing-kucingan, main petak umpet dengan aparat Trantib yang siap menyergapnya kapan saja. Pernah ia lobi sang juragan jalan itu, namun, pekerjaan itu sia-sia. Malahan, ada oknum yang peras duit dia seenak perut. Lagi-lagi Lucki mesti berhenti sesaat berangan untuk sekolah musik profesional jurusan andal saksofon.

“Kadang saya kecewa, dengan mereka yang hanya kagum atau mengajak saya kerjasama bukan karena suara saksofonnya. Tapi, mereka menanyai perihal kehidupan saya, perjalanan saya. Tidak ada yang bicara soal karya boro-boro mengapresiasi musik jalanan ini,” keluhnya panjang lebar.

Cita-cita Lucki cukup realistis, yakni membuat saksofon diterima semua lapisan orang. Lewat gebrakan musik elegan turun ke jembatan, ia ingin membuktikan bahwa saksofon alat musik instrument lintas kasta. “Bukan cuma bule-bule atau bos kantoran saja yang bisa menikmati saksofon, tapi semua orang, gelandangan, pengemis, pedangan asongan, loper koran, jiwa mereka patut berbahagia dengan nada ini,” tutur dia.

Bahwa benar sepeninggal saksofonis andal EmbongRaharjo, Indonesia tidak kekurangan bakat peniup saksofon. Bahwa tidak mustahil orang kita, atau kepada mereka yang disebut bawahan tuannya berpotensi jadi komposer mendunia seperti Dave Coz. Mengapa tidak negeri ini memproduksi manusia-manusia pencipta maha karya.

ik5